Membaca KUHP Nasional dengan Pendekatan Socio-Legal (Hukum Online)

 

Artikel ini pertama kali dimuat di Hukumonline dengan judul "Membaca KUHP Nasional dengan Pendekatan Socio-Legal", dan dapat diakses melalui tautan berikut:
https://www.hukumonline.com/berita/a/membaca-kuhp-nasional-dengan-pendekatan-socio-legal-lt6702c39d3c950/



Membaca KUHP Nasional melalui pendekatan socio-legal mampu membantu memahami norma tidak hanya secara tekstual, tetapi juga kontekstual. Dengan memahami konteks sosial, budaya, dan realitas yang ada, pendekatan ini memastikan keputusan yang diambil tidak hanya memperhitungkan aspek kepastian hukum, tetapi juga kemanfaatan, sehingga mampu melahirkan proses penegakan hukum yang berkeadilan.


Pada Selasa-Jumat, 10-13 September 2024, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) bersama Asosiasi Studi Sosio-legal Indonesia (ASSLESI) menyelenggarakan Training on Socio-legal Approach in Criminal Law. Pelatihan ini diikuti oleh pengajar hukum pidana dan aparat penegak hukum. Salah satu tujuan training memahami KUHP Nasional dengan pendekatan socio-legal. Tulisan ini lahir dari hasil diskusi dan refleksi selama pelatihan, yang menawarkan perspektif memahami KUHP Nasional melalui pendekatan socio-legal.

Istilah Socio-Legal

Socio-legal merupakan istilah yang pertama kali dipopulerkan di Inggris, merujuk pada pendekatan interdisipliner dalam memahami hukum. Studi ini berkembang dari kebutuhan sekolah-sekolah hukum di Inggris untuk mengintegrasikan kajian interdisipliner dalam ilmu hukum. Di Amerika, pendekatan serupa dikenal dengan istilah “law and society”. Sementara di Indonesia, khususnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, digunakan istilah “hukum dan masyarakat”.

Secara etimologis, socio-legal adalah pendekatan interdisipliner yang tidak hanya melihat hukum dari kacamata hukum semata, tetapi juga melalui perspektif ilmu lain. Menurut Banakar, socio-legal merupakan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan studi hukum dengan ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu politik, untuk memahami bagaimana hukum diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Esensi pendekatan socio-legal melihat interaksi hubungan hukum dan masyarakat serta bagaimana hukum dipraktikkan, diterima, atau diubah oleh dinamika sosial dan politik yang ada.

Penelitian Hukum

Secara epistemologi, ilmu hukum terdiri dari dua kamar. Pertama, hukum dalam arti dogma atau yang biasa disebut law in the books. Kedua, hukum dalam arti kenyataan atau law in action. Hukum dalam arti norma berfokus pada nilai-nilai, asas-asas, hingga ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, hukum dalam arti kenyataan melihat bagaimana hukum tersebut diterapkan dan bekerja dalam masyarakat.

Melihat epistemologi ilmu hukum di atas, pada umumnya metode penelitian hukum di Indonesia dibagi menjadi dua. Pertama, metode penelitian doktrinal yang dikenal sebagai penelitian hukum normatif (black-letter approach). Kedua, metode penelitian non-doktrinal yang biasa disebut penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif berfokus pada kamar pertama yaitu hukum sebagai dogma. Sedangkan penelitian hukum empiris meneliti hukum dalam kamar kedua yaitu hukum dalam kenyataan (law in action).

Namun, dimungkinkan penggabungan kedua metode di atas. Hal ini dilakukan guna menjawab kompleksitas masalah hukum, sehingga kemudian muncul istilah penelitian hukum “yuridis-empiris”. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian yuridis-empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengidentifikasi hukum sekaligus melihat efektivitas pelaksanaan hukum di masyarakat.

Lalu, apa yang membedakan pendekatan socio-legal dengan ketiga metode penelitian hukum di atas, baik itu penelitian hukum normatif, penelitian hukum empiris, maupun kombinasi keduanya? Dalam pelatihan tersebut, ditekankan bahwa ciri utama dari pendekatan socio-legal adalah pendekatan interdisipliner. Ini berarti, permasalahan hukum, baik dalam konteks normatif maupun empiris, dikaji tidak hanya dari sudut pandang hukum semata, tetapi juga dari perspektif disiplin ilmu sosial yang lain seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya.

Mencermati uraian di atas, menurut penulis, pendekatan socio-legal dapat dikategorikan menjadi beberapa bentuk. Pertama, penelitian hukum normatif yang digabungkan dengan pendekatan dari ilmu lain dapat dianggap sebagai penelitian socio-legal. Kedua, penelitian hukum empiris yang disertai dengan pendekatan dari ilmu lain juga masuk dalam kategori penelitian socio-legal. Ketiga, kombinasi penelitian hukum normatif dan empiris dengan pendekatan ilmu lain juga merupakan pendekatan socio-legal. Dengan demikian, ciri utama yang membuat suatu penelitian disebut socio-legal adalah kemampuannya menjawab dan menjelaskan berbagai persoalan hukum melalui pendekatan teoretis dan metodologis yang interdisipliner.

Penting bagi Akademisi

Bagi akademisi dan peneliti, pendekatan socio-legal sangat penting untuk menghasilkan analisis dan rekomendasi yang komprehensif. Dalam penelitian socio-legal, rumusan penelitian yang diajukan tetap berada di bidang hukum, namun analisis dan jawaban atas permasalahan hukum tersebut dilakukan dengan pendekatan interdisipliner, melibatkan disiplin ilmu sosial lainnya.

Oleh karena itu, dalam penelitian hukum yang menggunakan pendekatan socio-legal, sering digunakan “bridging concepts” sebagai jembatan antara teori hukum dan teori ilmu sosial. Bridging concepts yang biasa digunakan mencakup rule of law, hak asasi manusia, demokrasi, gender, dan lain-lain. Penelitian dengan pendekatan socio-legal cenderung menghasilkan rekomendasi yang lebih komprehensif. Hal ini dikarenakan analisis yang dilakukan melibatkan perspektif dari berbagai disiplin ilmu, bukan hanya kacamata hukum semata.

Untuk Jaksa dan Hakim

Para penegak hukum, khususnya jaksa dan hakim yang menyandang status Magistraat (pelaksana kekuasaan kehakiman), dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya berpedoman pada norma hukum semata, tetapi juga mempertimbangkan norma-norma lain, termasuk nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Misalnya, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan seorang hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sejalan dengan itu, Pasal 8 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan menegaskan bahwa jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani, dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, sambil senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.

Bagi penegak hukum, pendekatan socio-legal membuat cara pandang menjadi lebih luas. Pendekatan ini tidak hanya melihat teks hukum yang formal, tetapi juga konteks ketika hukum tersebut diterapkan. Menurut Wheeler dan Thomas, studi socio-legal adalah pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal terhadap hukum. Kata ‘socio’ dalam socio-legal studies merepresentasikan keterkaitan antara hukum dan konteks di mana hukum tersebut berada (an interface with a context within which law exists).

embaca KUHP Nasional

Pendekatan socio-legal dapat diterapkan dalam membaca KUHP Nasional 2023. Pendekatan ini menekankan bahwa pembacaan atas norma hukum tidak hanya sebatas memahami teks hukum secara letterlijk—yaitu terpaku pada apa yang tertulis dalam teks—melainkan juga perlu memahami konteks waktu, tempat, dan situasi yang menyertainya.

Memahami konteks sangat penting karena hukum pidana bertujuan untuk mencari kebenaran material. Menurut Jaksa Agung R. Soeprapto dalam artikelnya ‘Kesesatan Hakim’ (Rechterlijke Dwaling), seorang hakim bertugas menemukan kebenaran sejati dalam kasus-kasus yang dihadapinya. Konsep kebenaran sejati ini berbeda dari kebenaran formal, yang seringkali hanya bergantung pada bukti-bukti yang ada tanpa mempertimbangkan keseluruhan konteks dan realitas di lapangan.

Dalam KUHP Nasional, pendekatan socio-legal dapat digunakan untuk membaca asas hukum pidana, penerapan unsur tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, hingga persoalan pidana dan pemidanaan.

Sebagai contoh, pengaturan asas legalitas dalam KUHP Nasional yang mengakomodasi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Menurut Eugen Ehrlich, living law adalah hukum yang berlaku dan diikuti oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tidak tertulis dalam peraturan negara atau undang-undang. Living law lebih luas dari sekadar hukum adat, karena mencakup hukum kebiasaan, hukum agama, dan nilai-nilai lainnya.

Pasal 2 ayat (2) KUHP Nasional mengatur bahwa konsep living law berlaku di wilayah tempat hukum tersebut diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan KUHP Nasional dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila, UUD NRI 1945, hak asasi manusia, serta asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional. Lalu, di mana peran pendekatan socio-legal dalam membaca asas legalitas ini? Perannya adalah membantu memahami living law melalui pendekatan interdisipliner, seperti melalui ilmu sosiologi atau ilmu antropologi, sehingga pemahaman terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi lebih tepat.

Selanjutnya, dalam membaca “tindak pidana”. Pasal 12 ayat (2) KUHP Nasional menegaskan bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana jika bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut, Pasal 12 ayat (3) menyatakan bahwa setiap perbuatan dianggap melawan hukum kecuali terdapat alasan pembenar. Menurut Pasal 35 KUHP Nasional, ketiadaan sifat melawan hukum dalam tindak pidana merupakan alasan pembenar.

Menurut penulis, ketentuan ini mengakui eksistensi ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif. Artinya, meskipun suatu perbuatan memenuhi rumusan tindak pidana, jika tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), maka perbuatan tersebut dapat dikecualikan dari pemidanaan. Mahkamah Agung mengakui eksistensi ajaran ini dalam beberapa putusannya, salah satunya Putusan MA Nomor: 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966.

Dalam konteks ini, pendekatan socio-legal memiliki peran penting dalam mengkonstruksikan sejauh mana hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dapat dijadikan sebagai alasan pembenar dalam hukum pidana, sehingga menghapus sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana.

Selanjutnya, dalam melihat aspek pertanggungjawaban pidana, pendekatan socio-legal memiliki peran penting. Sebagai contoh, penerapan Pasal 38 dan Pasal 39 KUHP Nasional tentang penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, yang menyebutkan bahwa mereka dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. Untuk menentukan derajat disabilitas, tentu diperlukan bantuan dari cabang ilmu lain, seperti psikologi atau psikiatri.

Terakhir, dalam konteks pidana dan pemidanaan, KUHP Nasional telah mengatur pedoman pemidanaan (guideline of sentencing) yang tertuang dalam Pasal 54 ayat (1). Dalam pemidanaan, wajib dipertimbangkan beberapa faktor, seperti bentuk kesalahan, motif, cara melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap korban dan pelaku, riwayat hidup, keadaan sosial-ekonomi pelaku, hingga nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut penulis, faktor-faktor ini dapat dibagi dua: aspek hukum (Pasal 54 ayat (1) huruf a-e) dan aspek non-hukum (Pasal 54 ayat (1) huruf f-k). Tentunya, untuk mempertimbangkan faktor-faktor di atas, jaksa dan hakim tidak hanya bertumpu pada kacamata hukum an sich, melainkan membutuhkan alat bantu dari disiplin ilmu sosial lainnya.

Pada akhirnya, membaca KUHP Nasional melalui pendekatan socio-legal mampu membantu memahami norma tidak hanya secara tekstual, tetapi juga kontekstual. Dengan memahami konteks sosial, budaya, dan realitas yang ada, pendekatan ini memastikan keputusan yang diambil tidak hanya memperhitungkan aspek kepastian hukum, tetapi juga kemanfaatan, sehingga mampu melahirkan proses penegakan hukum yang berkeadilan.


*) Dr. Rudi Pradisetia Sudirdja, Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Kejaksaan Agung dan Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI)

You Might Also Like

0 komentar