''Transaksi Kilat Sumber Waras'' Upaya Kriminalisasi Kebijakan Atau Murni Korupsi?

Tulisan Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM (Staf Pengajar FH Universitas Pancasila Jakarta)

matovaniJakarta, GATRAnews-Membaca artikel di kolom hukum Majalah Gatra Edisi No.50 Tahun XXI 15-21 Oktober 2015 hal. 26 yang berjudul “ Transaksi Kilat Sumber Waras”, penulis tergelitik untuk memberikan opini pribadi sebagai akademisi di bidang hukum pidana.

Berdasarkan informasi yang didapat dalam artikel tersebut, terungkap bahwa pada 14 November 2013 Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) telah menjual tanahnya yang berstatus HGB seluas 36,410 meter persegi ke Ciputra Karya Utama (CKU). Tanah ditawarkan dengan harga Rp.15,5 juta per meter persegi atau total senilai Rp.564,355 milyar, dengan syarat agar YKSW mengubah izin peruntukan tanah menjadi area komersial.


Namun usulan perubahan izin tidak keluar hingga pada tanggal 6 Juni 2014 YKSW menemui Basuki Tjahja Purnama alias Ahok (saat itu Plt. Gubernur). Pada pertemuan tersebut Ahok menjelaskan kepada YKSW bahwa perubahan izin tidak diberikan karena lokasi tanah itu perizinannya untuk rumah sakit dan bukan untuk pembangunan mall. Selain itu dikemukakan juga oleh Ahok, soal rencana Pemerintah Provinsi DKI yang akan membangun rumah sakit khusus kanker sehingga terdapat titik temu kedua pihak.
Pada 27 Juni 2014 Direktur Umum dan SDM RS Sumber Waras mengajukan penawaran tanah RS Sumber Waras di Jalan Kyai Tapa seluas 36.410 meter persegi harga sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2014 sebesar Rp.20,77 juta per meter persegi dan harga bangunan yang ada Rp.25 milyar. Namun setelah dinegosiasi Tim dari Pemprov DKI maka harga bangunan (Rp.25 milyar) dihilangkan dan penawaran dibuka dengan nilai total sebesar Rp.755.689 milyar. Surat penawaran tersebut diperkuat dengan surat penawaran tanggal 7 Juni 2014 dari YKSW kepada Pemprov DKI dengan nilai penawaran yang sama dan transaksi jual beli ditandatangani pada 17 Desember 2014.
Belakangan, transaksi pembelian lahan ini memicu polemik setelah ada laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait Keuangan Pemprov DKI tahun 2014. Dalam laporannya itu BPK menemukan cacat prosedur proses pembelian tanah RS Sumber Waras, di antaranya harga tanah yang dibayar Pemprov DKI terlalu mahal. BPK membandingkan dengan harga tanah yang disepakati antara YKSW dan CKU.
BPK juga mempersoalkan disposisi Ahok kepada Kepala Bappeda DKI Andi Baso terkait penggunaan APBD-P 2014 untuk pembelian tanah RS Sumber Waras. Menurut BPK, disposisi tersebut janggal karena dibuat satu hari setelah datang surat penawaran tanah dari YKSW. BPK merekomendasikan agar Ahok yang kini menjabat Gubernur DKI ini membatalkan transaksi yang telah terjadi tahun 2014. Ahok menolak untuk melaksanakan rekomendasi itu dengan alasan pembatalan transaksi malah akan membuat negara bertambah rugi oleh karena harga tanah cenderung naik.
Terkait dengan keengganan Ahok menindaklanjuti rekomendasi BPK menimbulkan beberapa pertanyaan dari penulis: Apakah kebijakan Ahok dalam melakukan pembelian tanah RS Sumber Waras dapat dipidana?
Dalam ilmu hukum pidana terdapat adagium “actus reus non facit reum nisi mens sit rea (suatu perbuatan tidak bisa menjadikan orang bersalah jika maksudnya tidak bersalah). Bersesuaian dengan adagium di atas, Indriyanto Senoadji dalam bukunya berjudul “Korupsi dan Hukum Pidana” juga mengatakan bahwa pemidanaan atas dasar Positive Materiele Wederrechtelijk harus memperhatikan permasalahan sensitif dalam hukum pidana yaitu: Apabila perbuatan pelaku (terdakwa) secara formil tidak terdapat wederrechtelijke (tidak ada penyalahgunaan wewenang), maka seharusnya yang bersangkutan harus dibebaskan dari segala dakwaan yang berarti terhadap pelaku tidak dapat dikenakan pemidanaan dengan suatu pendekatan analogi.
Berbicara tentang kebijakan maka tidak bisa dilepaskan dari lima asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sebagaimana yang dikemukan oleh AM Donner dalam buku “Netherland Bestuursrecht”. Di mana salah satu asas yang terkait adalah asas kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk). Dalam asas ini disimpulkan bahwa kewajiban seorang administrator atau pejabat untuk mengupayakan suatu kebijakan tidak boleh ditujukan pada hal-hal lain dari sasaran atau tujuan semula. Apabila terjadi maka dapat dikatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang dapat mengakibatkan batalnya kebijakan tersebut.
Maiyasyak Johan dalam kesimpulan disertasinya yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pemegang Jabatan Dalam Kaitan Tindak Pidana Korupsi”, menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana pemegang jabatan dilandaskan atas asasliability based on fault terkait dengan unsur menyalahgunakan wewenang atau memperoleh keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain dan telah terjadi kerugian Negara.
Jadi berdasarkan syarat-syarat pemidanaan baik actus reus dan mens rea, asas pemerintahan yang baik maupun pertanggungjawaban pidana, maka seorang pejabat yang mengeluarkan suatu kebijakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya, apabila dalam mengambil atau menetapkan kebijakan tersebut tidak ada kehendak berbuat curang, tidak menyembunyikan sesuatu atau tidak adanya unsur KKN dan tidak mendapatkan keuntungan baik langsung maupun tidak langsung atas kebijakan yang telah diambilnya.
Dengan demikian, kebijakan Ahok dalam melakukan pembelian tanah RS Sumber Waras dapat dikriminalisasi (dipidana) apabila ditemukan tujuan untuk berbuat curang dan mendapatkan keuntungan baik langsung maupun tidak langsung atas kebijakannya tersebut. KPK yang telah diberikan laporan oleh LSM tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pembelian tanah RS Sumber Waras tidak ingin gegabah dan terkesan hati-hati. Langkah kehati-hatiannya itu adalah dengan meminta BPK untuk melakukan audit investigatif. Namun audit itu juga bukan suatu hal yang mudah untuk menemukan Mens Rea atau Niat Jahat dalam pembelian tanah tersebut. Semoga saja audit tersebut dapat mengungkap fakta yang sebenarnya.


Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM (Staf Pengajar FH Universitas Pancasila Jakarta)

Sumber : http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/173211-transaksi-kilat-sumber-waras-upaya-kriminalisasi-kebijakan-atau-murni-korupsi

You Might Also Like

0 komentar