KEWENANGAN TOETSINGRECHT DI INDONESIA
KEWENANGAN TOETSINGRECHT DI INDONESIA
Istilah “toetsingsrecht” (Belanda) adalah kependekan dari “rechterlijk
toetsingsrecht” artinya hak menguji atau hak menilai atau meneliti
oleh hakim, apakah undang-undang bertentangan atau tidak dengan
undang-undang dasar (grondwet).
Ada dua macam hak menguji undang-undang
(toetsingsrecht atau judicial review) oleh hakim, yaitu pertama,
hak menguji undang-undang secara formal (formele
toetsingsrecht atau formal judicial
review); kedua, hak menguji undang-undang secara material (materiele toetsingsrecht atau materiel judicial review). Hak Uji
Formal (formele toetsingsrecht)
adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti
undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (prosedur) sebagaimana telah
ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Hak Uji Material (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki
dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-udangan isinya sesuai
atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah
suatu kekuasaan tertentu (verordenende
macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. (Umar Sahid Sugiharto
: 2012)
Di
Indonesia terdapat dua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan toetsingsrecht / pengujian, yaitu
Mahkamahh Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
menguji Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar 1945 (Vide Pasal 24 C UUD
1945, Pasal 29 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat 1 UU No 24 tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi), sedangkan Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan dibawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang (Vide Pasal 24 A UUD 1945, Pasal 20 UU No 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 A UU No 3 Tahun 2009
Tentang Mahkamah Agung).
Adapun
Jenis dan susunan hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7
ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
adalah :
a. UUD
NRI Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi
merumuskan bahwa pemohon hak uji wajib menguraikan dengan jelas mengenai “pembentukan
undang-undang” yang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, dan “materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian” undang-undang yang bertentangan dengan
UUD RI 1945. Sedangkan Pasal 31 ayat (2) UUMA merumuskan bahwa Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Baik Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung kedua-duanya memiliki
kewenangan untuk melakukan pengujian dari segi materil (isi) maupun Formil (Pembentukan).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia lembaga yang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan "toetsingsrecht" adalah Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, adapun kewenangan tersebut meliputi pengujian baik dari segi materil maupun dari segi formil.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia lembaga yang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan "toetsingsrecht" adalah Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, adapun kewenangan tersebut meliputi pengujian baik dari segi materil maupun dari segi formil.
Dasar Hukum : Pasal 24 A dan 24 C UUD 1945, Undang Undang No 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang No 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, danUndang Undang No 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua UU
No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
1 komentar
Kang rudi semoga masih ingat dengan saya, sehubungan dengan tulisan kang rudi yang mengangkat soal toetsingsrecht ini saya punya tanggapan atau malah kritikan yang mendasar. Terdapat kekeliruan yang mendasar dalam memahami toetsingsrecht dgn mengalihbahasakannya dan menganggapnya sebagai 'judicial review'. Pemahaman ini sudah dikritik habis-habisan sejak 2 dekade yang lalu oleh Prof. Harun Al Rasyid dan kemudian tak kalah hebatnya dikritik oleh Jimly Asshiddiqie.
BalasHapusYang paling prinsip ialah kekeliruan memahami 'teotsingsrecht' yang berasal dari bahasa belanda sebagai 'judicial review' dalam arti 'pengujian undang-undang atau pengujian peraturan perundang-undangan'. Dalam logika yg sederhana saja pemikiran itu sulit diterima dan "doesn't make sense" kalau mengartikan toetsingsrecht sebagai 'judicial review' karena di negeri Belanda sendiri tidak dakui/dikenal mekanisme pengujian undang-undang, karena pertama disana berlaku asas undang-undang tidak boleh diganggu gugat sehubungan adanya istilah "Quen or King in Parliament" sehingga undang-undang dianggap bagian dari produk Ratu/Raja (secara simbolis) dan oleh karena undang-undang itu tidak dapat diuji oleh pengadilan, kedua karena yg berlaku disana adalah supremasi parlemen sehingga hingga skrg tidak mungkin hakim disana melakukan judicial review sebagaimana kita pahami sprt di Indonesia.
Itulah sekilas kritik saya walaupun sebetulnya masih banyak lainnya.
Saya sendiri sedang menyusun tulisan yg pada intinya mencoba meluruskan dan mempurufikasi kekeliruan tersebut. Semoga dalam satu dua hari ini bisa saya segera share kepada Kang Rudi untuk bahan bacaan.
Salam,