Telah menjadi hal yang lazim dan berlaku universal bahwa tindakan menuntut suatu perkara pidana selalu berada di sebuah lembaga pemerintah yang bernama “Kejaksaan” dan dipimpin oleh Jaksa Agung. Pelaksanaan kewenangan tersebut selalu disertai dengan asas hukum meliputinya, yakni “Dominus Litis”, yang berarti tidak ada badan lain yang berhak melakukan itu, kecuali Jaksa.
Secara etimologis, “dominus” berasal dari bahasa Latin, yang berarti “pemilik”. Sementara, “litis” artinya “perkara”. Apabila diterjemahkan “dominus litis” berarti “pemilik atau pengendali perkara”. Konsekuensi dari asas ini adalah bahwa Jaksa (penuntut umum) merupakan satu-satunya badan yang berwenang untuk menentukan suatu perkara layak atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan. Asas ini pun dimuat dalam Guidelines on the Role of Prosecutors yang diadopsi dari Kongres PBB ke-8 (delapan) tentang Pencegahan Tindak Pidana dan Penanganan Terhadap Para Pelaku Kejahatan, di Havana, Cuba pada tahun 1990.
Asas dominus litis memberikan konsekuensi bahwa pengendalian kebijakan penuntutan di suatu negara harus dilakukan di satu tangan yakni di bahwa kendali Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi. Di Indonesia, eksistensi Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Secara historis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan menyebutkan bahwa: “Jaksa Agung adalah Penuntut Umum Tertinggi”, disebutkan pula bahwa Jaksa Agung dan Jaksa-Jaksa memberikan petunjuk-petunjuk, mengoordinasikan dan mengawasi alat-alat penyidik sesuai hierarki. Dan, dalam pelaksanaan tugas para Jaksa tersebut, Jaksa Agung adalah pemimpin dan pengawasnya.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU 16/2004), kewenangan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi tetap melekat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1): “Jaksa Agung adalah pemimpin dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan kewenangan kejaksaan, maka Jaksa Agung juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan”. Artinya, Jaksa Agung bukan hanya pimpinan tertinggi di institusi Kejaksaan melainkan juga pimpinan tertinggi dalam bidang penuntutan di institusi mana pun yang diberi kewenangan oleh UU.
Untuk itu, tidak heran apabila dalam Undang-Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU 31/1997) secara expressive verbis menyatakan bahwa Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi. Penjelasan Pasal 57 (1) UU tersebut menyebutkan: “Oditur Jenderal dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima.”
Pengaturan tersebut pada hakikatnya merupakan cerminan dari pelaksanaan prinsip single prosecution system, yang berarti tidak ada lembaga lain yang berhak melakukan penuntutan kecuali berada di bawah kendali Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi negara. Prinsip single prosecution system tercermin dalam Pasal 2 ayat (3) UU 16/2004 yang menyebutkan bahwa “kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” (een en ondeelbaar). Artinya, penuntutan harus ada di satu lembaga, yakni Kejaksaan agar terpeliharanya kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerjanya.
Penerapan prinsip single prosecution system dalam konteks internasional dapat dilihat dalam Pasal 11 United Nations Guidelines on the Role of Prosecutors yang menyatakan bahwa “Jaksa harus melakukan peran aktif dalam proses penanganan perkara pidana, termasuk melakukan penuntutan dan jika diizinkan oleh hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, berperan aktif dalam penyidikan, pengawasan terhadap keabsahan penyidikan tersebut, mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan dan menjalankan fungsi lain sebagai wakil kepentingan umum.”
Peradilan Militer
Saat ini penyelenggaraan peradilan terhadap perkara pidana di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Sementara untuk penuntutan dilakukan lembaga oditurat.
Lembaga oditurat adalah badan di lingkungan militer yang melakukan kekuasaan pemerintah negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari panglima. Lembaga tersebut terdiri dari Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi dan Oditurat Jenderal serta Oditurat Pertempuran yang bertindak sebagai wakil pemerintah dan negara. Pelaksanaan penuntutan oleh oditurat harus bebas dari pengaruh kekuasaan, serta dilaksanakan secara profesional dan berintegritas guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam teknis penuntutan, Orditur Jenderal melalui Panglima bertanggung jawab kepada Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya. Pelaksanaan pertanggungjawaban ini dalam praktik seringkali berjalan tidak optimal. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satunya karena keterbatasan “relasi fungsional” antara Oditurat dan Kejaksaan di bidang teknis penuntutan perkara tindak pidana militer. Keterbatasan relasi fungsional tidak jarang menyebabkan banyaknya perbedaan pandangan dan sikap antara Jaksa dan Orditurat terkait teknis suatu perkara yang berujung pada sulit terciptanya sistem peradilan pidana terpadu.
Apabila menilik lebih dalam lagi, keterbatasan relasi fungsional terjadi karena ketiadaan lembaga atau struktur jabatan pada Kejaksaan yang menjembatani pelaksanaan pertanggungjawaban dari Orditurat Jenderal kepada Jaksa Agung. Hal itu berdampak Orditurat Jenderal sulit melaporkan setiap penanganan perkaranya pada Jaksa Agung, dan sebaliknya Jaksa Agung sulit melaksanakan pengawasan, pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan teknis penuntutan oleh oditurat.
Pembentukan Jampidmil
Untuk menciptakan relasi fungsional antara Jaksa dan Orditur Militer, maka perlu dilakukan penataan ulang kelembagaan di lingkungan Kejaksaan. Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi sudah barang tentu harus memiliki unsur pembantu pimpinan yang fokus membantu tugas-tugasnya di bidang pidana militer. Sebagai pembanding, Kejaksaan harus mencontoh Mahkamah Agung, yang mana dalam struktur organisasi tata kerja Mahkamah Agung terdapat Kamar Pidana Militer yang fokus menangani perkara-perkara militer.
Sejak tahun 2000-an gagasan pembentukan unsur pembantu Jaksa Agung di bidang Pidana Militer atau bisa disebut Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) ini sudah sering dikumandangkan, namun seringkali menguap begitu saja tanpa ujung yang jelas. Di era kepemimpinan Jaksa Agung, Burhanuddin ini gagasan tersebut kembali terdengar.
Pada 22 Januari 2020 lalu, Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) sebagai induk organisasi profesi para Jaksa menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGF) ihwal masalah ini dengan mengundang pakar, pihak Oditurat Militer, serta NGO sebagai wakil masyarakat. Salah satu narasumber, Dr. Barita Simanjuntak, S.H., M.H., CFrA (Ketua Komisi Kejaksaan RI) mengatakan dukungan penuh terhadap pengembangan organisasi Kejaksaan melalui pembentukan Jaksa Agung Muda Pidana Militer ini. Menurutnya, pembentukan Jampidmil sejalan dengan prinsip jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan dan untuk memperkuat eksistensi Kejaksaan sebagai pemegang asas dominus litis.
Pembentukan Jaksa Agung Muda Militer ini akan memberikan dampak positif bagi kedua lembaga baik Kejaksaan maupun Orditurat Militer yakni:
Keberadaan struktur tersebut sejalan dengan semangat reformasi dan penghargaan terhadap prinsip-prinsip supremasi sipil sebagai bagian dari salah satu prinsip demokrasi.
Menghindari disparitas atau kesenjangan dalam penuntutan perkara sipil dan perkara militer. Dengan masuknya oditurat militer dalam struktur fungsional Kejaksaan, maka kebijakan penuntutan dan pertanggung jawabannya ada pada satu pintu, yaitu Jaksa Agung RI.
Bagi Kejaksaan, penggabungan oditurat militer akan meningkatkan efektifitas pelaksanaan kewenangan negara untuk melakukan penuntutan terhadap setiap tindak pidana.
Dengan bergabungnya Oditurat Militer ke Kejaksaan, ketentuan mengenai peradilan koneksitas dan peran Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan penyidikan perkara tindak pidana korupsi menjadi lebih optimal.
Secara substansi, mengembalikan marwah kewenangan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi dan mendorong kewenangan penuntutan diberikan hanya satu-satunya kepada Kejaksaan RI.
Pembentukan Jampidmil diharapkan dapat menjembatani pelaksanaan pertanggungjawaban Oditurat selaku penuntut umum tertinggi di lingkungan TNI dalam pelaksanaan teknis penuntutan kepada Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi di Indonesia. Namun yang terpenting, keberadaan Jampimil dapat menjadi katalisator pelaksanaan kewenangan masing-masing institusi di bidang peradilan militer dengan tanpa saling menegasikan kewenangan dan fungsi yang satu dengan yang lainnya. Akhirnya, kita semua berharap gagasan ini penyatuan penuntutan hijau-cokelat dapat terwujud guna mewujudkan satu kesatuan penuntutan (single prosecution system) di Indonesia.
Sumber ( bahasan.id )
Penulis:
Rudi Pradisetia Sudirdja,SH.MH. Jaksa yang ditugaskan di Kemenkopolhukam (Staf Khusus Ketua Komisi Kejaksaan RI ) juga Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Dan saat ini sedang menempuh studi Program Doktor di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar