Rabu, 28 Agustus 2019

Kejaksaan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan


        Kebakaran hutan menjadi salah satu masalah besar bangsa Indonesia. Terlebih bagi Indonesia yang memiliki hutan yang begitu luas mencapai 120,6 juta hektare atau sekitar 63% dari luas daratannya 190,5 juta hektare.[1] Permasalahan kebakaran hutan hampir terjadi setiap tahunnya pada musim kemarau. Kebakaran hutan sendiri didefinisikan sebagai kebakaran yang terjadi di alam liar, hutan, dan/atau lahan, yang dapat juga memusnahkan rumah-rumah atau mendatangkan bahaya bagi keamanan umum, makhluk hidup, atau barang di sekitarnya.[2]
       Pada tahun ini, diprediksi kebakaran hutan akan meningkat. Hal tersebut sejalan dengan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang menyebutkan bahwa kemarau pada tahun 2019 akan jauh lebih kering, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Diprediksi musim kemarau akan terjadi sejak Juli hingga Oktober 2019.[3]
       Hingga Agustus 2019, Pemerintah telah menetapkan status siaga darurat bencana karhutla terhadap 6 provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.[4] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Selasa, tanggal 13 Agustus 2019, menyebutkan, jumlah titik panas di seluruh Indonesia sebanyak 863 titik.[5]
       Untuk mencari penyebabnya, kita dapat merujuk pada Pasal 18 Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, yang membagi penyebab kebakaran hutan dan lahan menjadi 2 (dua) kategori. Pertama, karena perbuatan manusia, seperti melakukan pembakaran hutan tanpa izin dengan cara melakukan kegiatan yang karena kelalaiannya menyebabkan kebakaran antara lain: penggunaan api di dalam hutan yang tidak terkendali, penggunaan gergaji mesin dan mesin-mesin lainnya yang ceroboh, atau penggunaan bahan peledak dan zat-zat kimia yang tidak terkendali. Selain itu, masuk kategori ini juga, seperti membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran antara lain: puntung rokok yang masih mengandung api, bara api, petasan, zat-zat kimia, lensa cembung, korek api. Kedua, kebakaran hutan yang terjadi sebab daya-daya alam, seperti akibat-akibat petir, gunung berapi, reaksi sumber daya alam, dan atau gempa.
       Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum tentunya akan turut ambil bagian berkontribusi dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan di Indonesia. Dalam bidang pidana, kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang memiliki posisi sentral dan strategis selaku pemegang asas dominus litis, yang merupakan poros dan filter antara proses penyidikan hingga pemeriksaan di persidangan, sekaligus pengendali penanganan perkara pidana, turut bertanggung jawab untuk memastikan penanganan perkara tindak pidana kebakaran hutan dan lahan berjalan secara baik.
       Secara institusional, Kejaksaan Agung juga telah memiliki Satuan Tugas Sumber Daya Alam dan Lintas Negara (Satgas SDA-LN) yang memiliki tugas khusus penanganan perkara sumber daya alam yang di dalamnya termasuk tindak pidana kebakaran hutan dan lahan.
       Sejak tahun 2015 s/d Juli 2019, Satgas tersebut telah menangani perkara tindak pidana kehutanan sebanyak 3.438 perkara dan tindak pidana lingkungan hidup sebanyak 349 perkara.[6] Dalam penanganan perkara, selain menyasar individu, Satgas tersebut menyasar perusahaan-perusahaan yang dengan sengaja melakukan tindakan pembakaran hutan, melalui pembebanan pertanggungjawaban pidana.
       Keberadaan Satgas SDA-LN terbukti juga secara efektif memudahkan koordinasi antara penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penuntut umum dalam penanganan perkara pidana. Oleh karena itu, ke depan kiranya keberadaan Satgas ini perlu ditingkatkan statusnya menjadi sebuah Direktorat.  Peningkatan tersebut dilakukan untuk menjadikan Satgas SDA-LN menjadi lembaga yang permanen yang masuk dalam struktur organisasi tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
       Selanjutnya, yang menjadi hal penting dalam penanganan tindak pidana kebakaran hutan adalah, bahwa orientasi pemidanaan tidak hanya sekadar menuntut berat pelaku melalui instrumen pidana badan dan/atau denda saja. Melainkan juga menuntut agar kerusakan hutan yang terjadi harus diperbaiki, sehingga hutan yang rusak dapat pulih ke dalam keadaan semula. Mengingat hutan memiliki peran yang sangat vital bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
       Dalam bidang perdata, Kejaksaan melalui peran dan fungsinya sebagai Pengacara Negara dapat mewakili pemerintah untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu berupa tindakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup, terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
        Sebagai perbandingan, Kejaksaan di Uni Eropa dalam permasalahan lingkungan hidup tidak hanya mewakili negara/pemerintah saja, melainkan juga dapat mewakili masyarakat untuk mengajukan gugatan perdata kepada korporasi swasta. Hal ini mengingat Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang demi kepentingan umum memandang tindak pidana lingkungan hidup beserta dampak-dampaknya merupakan persoalan yang berdampak langsung dan senantiasa bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, ke depan kiranya perlu juga dipikirkan pemberian wewenang pada Jaksa Pengacara Negara untuk dapat mewakili kelompok masyarakat dalam kasus-kasus yang melibatkan korporasi yang merugikan kepentingan umum.
        




[1] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018, Jakarta, 2018, h, 27.
[2] Pasal 1 angka 1 Rancangan Undang-Undang Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
[6] Sunproglap dan Panil Jaksa Agung Muda Pidana Umum bulan Juli 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar