Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo, Menteri
Kesehatan, dokter Terawan Agus Putranto, menyatakan akan fokus membenahi empat
masalah kesehatan, yakni: (1). Masalah stunting (tinggi badan
anak berada di bawah standar), (2). Jaminan kesehatan nasional (JKN), (3) Harga
obat dan alat kesehatan yang tinggi; dan (4). rendahnya penggunaan alat
kesehatan buatan dalam negeri.
Angka stunting pada
2019 berhasil ditekan menjadi 27,67 persen dimana pada 2018, Riset Kesehatan
Dasar mencatat stunting pada angka 30,8 persen. Pemerintah pun
menargetkan angka stunting pada 2024 jumlahnya dapat turun dibawah 20
persen. Stunting ini ditengarai salah satunya akibat
kekurangan gizi pada anak, namun ada juga faktor-faktor lain yang menyebabkan
masalah stunting ini. Oleh karenanya, perlu
dilakukan pengecekan ke daerah-daerah guna
memperoleh informasi yang akurat perilah penyebab terjadinya stunting di
tiap-tiap daerah.
Permasalahan BPJS Kesehatan masih berkutat
pada kekurangan dana (defisit) untuk membiayai klaim perawatan. Defisit
tersebut ditengarai karena beberapa masalah, seperti: ketidakcocokan
daftar peserta di administrasi dan di lapangan, dugaan manipulasi kelas dan
jenis layanan bagi fasilitas BPJS Kesehatan di sejumlah rumah sakit, hingga
menumpuknya jumlah tunggakan yang belum dibayar peserta. Hal ini membuat BPJS
Kesehatan kemungkinan mengalami defisit keuangan mencapai Rp32 triliun pada
akhir tahun ini.
Biaya obat dan alat kesehatan yang tinggi
ditengarai karena bahan baku yang berasal dari luar negeri. Pada periode
kabinet sebelumnya, produksi bahan baku obat berhasil dibuat dari tidak ada
sama sekali menjadi 15 persen. Oleh karenanya, pada periode kabinet saat ini,
hal tersebut akan ditingkatkan.
Selain itu, saat ini sedang diupayakan solusi
untuk dapat melakukan pemerataan tenaga kesehatan hingga daerah pelosok dan
terpencil, terlebih setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor Nomor
62 P/HUM/2018 yang membatalkan kebijakan
Presiden Jokowi soal Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) yang diresmikan
pada 2017. Menurut MA, kebijakan itu merupakan kerja paksa yang telah dilarang
oleh International Labour Organization (ILO). Oleh
karenanya, Pasal 7 ayat (1) , (2), (3), (4) dan (5), Pasal 8 ayat
(1) dan (2), Pasal 12 ayat (1) huruf (a), Pasal 16 ayat (1), Pasal 19 ayat (a)
da (b) dan 29 huruf (a) ayat (1), (2) dan (3), Peraturan Presiden Nomor 04
tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1999 tentang
Pengesahan ILO Covention Nomor 105 Concerning The Abolition Of Forced Labour
(Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa) dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
Kejaksaan sebagai bagian dari lembaga
pemerintah yang melaksanakan fungsi penegakan hukum tentunya memiliki kewajiban
untuk turut menyukseskan Program Kesehatan Nasional. Berkaitan dengan defisit anggaran BPJS, Jaksa Pengacara Negara, baik di Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri telah berupaya membantu BPJS kesehatan
untuk melakukan penagihan kepada para peserta (perusahaan) yang belum membayar premi pegawainya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada 2018, BPJS Kesehatan bersama Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia telah
melakukan mediasi dan mengeluarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) sebanyak 3.224 ke
pemberi kerja. Kejaksaan RI telah membantu BPJS melakukan penagihan iuran sebesar Rp26 miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar