Rabu, 18 Desember 2019

Kejaksaan dan Pembenahan Masalah Kesehatan



Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo, Menteri Kesehatan, dokter Terawan Agus Putranto, menyatakan akan fokus membenahi empat masalah kesehatan, yakni: (1). Masalah stunting (tinggi badan anak berada di bawah standar), (2). Jaminan kesehatan nasional (JKN), (3) Harga obat dan alat kesehatan yang tinggi; dan (4). rendahnya penggunaan alat kesehatan buatan dalam negeri.

Angka stunting pada 2019 berhasil ditekan menjadi 27,67 persen dimana pada 2018, Riset Kesehatan Dasar mencatat stunting pada angka 30,8 persen. Pemerintah pun menargetkan angka stunting pada 2024 jumlahnya dapat turun dibawah 20 persen. Stunting ini ditengarai salah satunya akibat kekurangan gizi pada anak, namun ada juga faktor-faktor lain yang menyebabkan masalah stunting iniOleh karenanya, perlu dilakukan pengecekan ke daerah-daerah guna memperoleh informasi yang akurat perilah penyebab terjadinya stunting di tiap-tiap daerah.
Permasalahan BPJS Kesehatan masih berkutat pada kekurangan dana (defisit) untuk membiayai klaim perawatan. Defisit tersebut ditengarai karena beberapa masalah, seperti: ketidakcocokan daftar peserta di administrasi dan di lapangan, dugaan manipulasi kelas dan jenis layanan bagi fasilitas BPJS Kesehatan di sejumlah rumah sakit, hingga menumpuknya jumlah tunggakan yang belum dibayar peserta. Hal ini membuat BPJS Kesehatan kemungkinan mengalami defisit keuangan mencapai Rp32 triliun pada akhir tahun ini.
Biaya obat dan alat kesehatan yang tinggi ditengarai karena bahan baku yang berasal dari luar negeri. Pada periode kabinet sebelumnya, produksi bahan baku obat berhasil dibuat dari tidak ada sama sekali menjadi 15 persen. Oleh karenanya, pada periode kabinet saat ini, hal tersebut akan ditingkatkan.
Selain itu, saat ini sedang diupayakan solusi untuk dapat melakukan pemerataan tenaga kesehatan hingga daerah pelosok dan terpencil, terlebih setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor Nomor 62 P/HUM/2018 yang membatalkan kebijakan Presiden Jokowi soal Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) yang diresmikan pada 2017. Menurut MA, kebijakan itu merupakan kerja paksa yang telah dilarang oleh International Labour Organization (ILO). Oleh karenanya, Pasal 7 ayat (1) , (2), (3), (4) dan (5), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 12 ayat (1) huruf (a), Pasal 16 ayat (1), Pasal 19 ayat (a) da (b) dan 29 huruf (a) ayat (1), (2) dan (3), Peraturan Presiden Nomor 04 tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis dinyatakan bertentangan dengan  Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Covention Nomor 105 Concerning The Abolition Of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa) dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Kejaksaan sebagai bagian dari lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi penegakan hukum tentunya memiliki kewajiban untuk turut menyukseskan Program Kesehatan Nasional. Berkaitan dengan defisit anggaran BPJS, Jaksa Pengacara Negara, baik di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri telah berupaya membantu BPJS kesehatan untuk melakukan penagihan kepada para peserta (perusahaan) yang belum membayar premi pegawainya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada 2018BPJS Kesehatan bersama Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia telah melakukan mediasi dan mengeluarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) sebanyak 3.224 ke pemberi kerja. Kejaksaan RI telah membantu BPJS melakukan penagihan iuran sebesar Rp26 miliar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar