PERLUASAN MAKNA UNSUR “KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN” PADA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (PASAL 285 KUHP) DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKULU NOMOR : 410/PID.B/2014/PN.Bgl


PERLUASAN MAKNA UNSUR “KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN” PADA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (PASAL 285 KUHP) DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKULU NOMOR : 410/PID.B/2014/PN.Bgl
Oleh :
Rudi Pradisetia Sudirdja, SH
(Pegawai Kejaksaan Negeri Tapaktuan)
 
IMG_0244


Pasal 285 KUHP :
1. Barangsiapa,
2. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
4. di luar perkawinan,


A. SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231-81.
  1. Yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi. Mengenai perluasannya, termuat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Suatu contoh tentang kekerasan antara lain ialah menarik dan sembari meluncurkan celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu dimasukkan kemaluan si-pria tersebut.
  2. Yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman ini dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu tindakan yang lebih “sopan”, misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan.
  3. Yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada pilihan yang lebih wajar baginya selain daripada mengikuti kehendak dari sipemaksa. Dengan perkataan lain tanpa tindakan sipemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Dalam hal ini tidak diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil resiko yang sangat merugikannya, misalnya lebih baik mati atau luka-luka / kesakitan daripada mengikuti kehendak sipemaksa. Di sini harus dinilai secara kasuistis kewajarannya. Pemaksaan pada dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dapat juga pemaksaan dibarengkan dengan ancaman akan membuka rahasia siterpaksa atau menyingkirkan siterpaksa dan lain sebagainya. Pokoknya akibat dari pemaksaan itu jika tidak dilakukan adalah sesuatu yang merugikan siterpaksa. Dalam pasal ini yang ditentukan hanyalah pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sukar dapat diterima adanya pemaksaan dengan pemberian upah atau hal-hal yang akan menguntungkan siterpaksa. Dalam hal yang terakhir ini istilahnya adalah membujuk, menggerakkan, menganjurkan dan lain sebagainya.
  4. Yang dimaksud dengan bersetubuh untuk penerapan pasal ini ialah memasukkan kemaluan si pria ke kemaluan wanita sedemikian rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan. Jika kemaluan si pria hanya “sekedar nempel” di atas kemaluan si wanita, tidak dapat dipandang sebagai persetubuhan, melainkan percabulan dalam arti sempit, yang untuk itu diterapkan pasal 289. Persetubuhan tersebut harus dilakukan oleh orang yang memaksa tersebut. Jika ada orang lain (pria atau wanita) yang turut memaksa, maka mereka ini adalah peserta petindak (mededader).
  5. Yang dimaksud dengan wanita di sini, bukan hanya sesudah dewasa tetapi juga termasuk yang belum dewasa.
Berdasarkan Putusan PN No. 410/PID.B/2014/PN.Bgl, Majelis Hakim PN Klas I A Bengkulu yang beranggotakan Cipta Sinuraya, S.H., Syamsul Arief, S.H., M.H., dan Rendra Yozar DP, SH, MH, telah mengeluarkan putusan yang cukup progresif dan revolusioner yang merubah paradigma peradilan di Indonesia terkait penanganan kasus perkosaan.

Dalam kasus tersebut, Hakim menafsirkan unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dirinya di luar perkawinan” mencakup “membujuk dan merayu terdakwa, dengan modus asmara atau pacaran atau janji-janji manis padahal sesungguhnya hal tersebut kebohongan belaka, untuk memperdayai korban agar mau bersetubuh dan menyerahkan keperawanan”.
Dalam kesempatan ini saya akan mencoba menyajikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut :
  1. Yang dimaksud dengan terma “kekerasan atau dengan ancaman kekerasan” sebagai pengertian yang bersifat alternatif dalam unsur pasal 285 KUHP telah banyak mengalami pengertian yang diperluas bukan hanya dalam pengertian terminology melainkan juga perluasan tafsir makna hukum dan peluasan unsur pidana pada konteks kejahatan perkosaan/kesusilaan.
  2. Bahwa terminologi klasik dalam makna “dengan kekerasan” adalah perbuatan yang bersifat kekerasan dalam arti fisik atau kekerasan yang menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang berakibat pada korban yang tidak berdaya secara fisik. Contoh misalnya Pelaku yang sebelum melakukan tindakan pemerkosaan telah melukai tubuh korban dengan senjata tajam atau mengikat kaki dan tangan korban sehingga tidak berdaya. Demikian pula halnya dengan maksud dari term “ancaman kekerasan memaksa” yang diartikan secara klasik adalah tindakan intimidasi yang bersifat pshikis yang membuat orang tidak berdaya secara psikologis. Contoh misalnya dengan ancaman senjata api pelaku mengancam membunuh anak korban yang tertidur apabila korban tidak mau melayani untuk berhubungan seksual dengan pelaku;
  3. Bahwa pengertian “Persetubuhan” dalam terminologi klasik sebagaimana berdasarkan Arrest Hooge Raad Tanggal 05 Pebruari 1912 memberikan abstraksi “Persetubuhan” adalah peraduan antara kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi alat kelamin laki-laki harus masuk ke dalam alat kelamin perempuan sehingga mengeluarkan air mani;
  4. Menimbang bahwa sebagaimana diketahui hukum pidana Indonesia yang termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah berasal dari warisan hukum kolonial Belanda yakni berasal dari Wetboek Van Strafrecht voor Netherlands Indie yang berlaku sejak Tanggal 1 Januari 1918 dan kemudian pascakemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 26 Februari 1946 hukum Kolonial Belanda ini masih digunakan sebagai hukum positif di Indonesia yang mana ditegaskan didalam UU Nomor 1 Tahun 1946 yang menyatakan perubahan Wetboek Van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) yang kemudian kita kenal hinga saat ini menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
  5. Bahwa usia yang renta dari KUHP itu berdampak pada uzurnya norma hukum dan unsur dalam beberapa pasal-pasal didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana jika dihadapakan pada konteks permasalahan-permasalan sosial kekinian. Disadari KUHP kini telah berusia 97 Tahun jika dihitung dari usia berlakunya Wetboek Van Strafrecht voor Netherlands Indie pada tanggal 1 Januari 1918 atau telah berusia 69 Tahun jika dihitung sejak berlakunya UU Nomor 1 tahun 1946 tentang pemberlakuan Wetboek van Strafrecht (WvS) atau yang lebih dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
  6. Menimbang bahwa sebagaimana diketahui hukum berkembang sejalan dengan perubahan zaman dan perubahan itu juga mengubah tata nilai yang terjadi didalam masyarakat. Perkembangan dan perubahan juga terjadi didalam dinamika hukum pidana di Indonesia termasuk pula perubahan didalam makna, unsur, dan norma pada pasal 285 Kitab Undang undang Hukum Pidana;
  7. Menimbang bahwa sejalan dengan perubahan dan dinamika masyarakat unsur didalam pasal 285 KUHP tentang “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa wanita bersetubuh dengan dirinya diluar perkawinan” telah mengalami perubahan norma dan perluasan unsur. Contoh jika didalam pasal 285 KUHP unsur “dengan kekerasan dan “dengan ancaman kekerasan memaksa” maka perluasan unsur dan norma hukum itu terbaca di pasal 81 dan pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mana unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa” diperluas makna dan unsur kejahatannya sehingga perbuatan “dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” adalah termasuk dalam makna unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa”
  8. Menimbang bahwa unsur didalam pasal 285 KUHP yaitu “ Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Memaksa Seorang Wanita Bersetubuh dengan dirinya di luar perkawinan” juga telah mengalami perluasan unsur dan norma dalam kaitan menjerat subyek hukum. Pasal 285 KUHP yang dalam pengertian klasik dianggap tidak berdaya untuk menjerat pelaku kekerasan dan ancaman kekerasan seksual “didalam perkawinan” kemudian mengalami perluasan unsur dan norma hukum melalui berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Dalam UU PKDRT diatur mengenai berlakunya ketentuan pidana yang bisa menjerat pelaku kekerasan atau ancaman kekerasan seksual bahkan terhadap korban yang notabene istrinya sendiri (marital rape).
  9. Menimbang bahwa bahkan didalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana terbaru dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI makna perkosaan diperluas unsurnya yaitu tidak lagi hanya bermakna peraduan alat kelamin laki-laki kedalam kelamin perempuan akan tetapi perbuatan perkosaan termasuk didalamnya perbuatan memasukan alat kelamin laki-laki kedalam anus atau kedalam mulut perempuan;
  10. Menimbang bahwa terakhir Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 815/K/PID.SUS/2014 Tanggal 25 Juni 2014 atas nama Terdakwa EMAYARTINI Als MAY Binti (Alm) MANSYUR telah pula menguatkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu yang membuktikan “tindak pidana membujuk anak melakukan pesetubuhan dengan dirinya” yang dilakukan oleh seorang perempuan dewasa terhadap 6 (enam) orang anak laki-laki dibawah umur. Padahal pemahaman klasik dalam delik kesusilaan sebagaimana asalnya dari pasal 285 KUHP pelaku atau subyek hukum hanya menunjuk pada pada kaum laki-laki dengan korban perempuan bukannya perempuan sebagai pelaku atau subyek hukum dan kaum laki-laki sebagai korban
  11. Menimbang bahwa dari uraian tersebut diatas Majelis hakim menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap unsur-unsur Pasal 285 KUHP tidak lagi dilihat hanya pada makna dan pengertian unsur klasik pasal 285 KUHP itu saja melainkan pemahaman dari unsur-unsur Pasal 285 KUHP tergantung pada konteks permasalahan perkara yang kini telah berkembang pesat merubah konsep tindak pidana kesusilaan itu. Hal ini terlihat sudah dengan adanya perubahan norma dan perluasan unsur pada 81 dan pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang memungkinkan menjerat Suami yang melakukan kekerasan seksual kepada istri. Ini merupakan contoh kongkrit tidak dapat dipertahankannya lagi konsep pengertian unsur tindak pidana kesusilaan klasik sebagaimana diatur dalam pasal 285 KUHP;
  12. Bahwa dalam kasus ini perbuatan terdakwa Myxe Zuljanova Alias Janov Bin Medianto yang mendekati korban Sunarti melalui komunikasi via Facebook, SMS dan Telepon serta selanjutnya menyatakan rasa cinta kepada korban Sunarti hanya modus atau cara terdakwa untuk memikat hati korban Sunarti dan selanjutnya membujuk dan merayu korban Sunarti yang sudah terpikat hatinya untuk melakukan hubungan seksual dengan dirinya dengan janji-janji manis terdakwa tidak akan meninggalkan korban Sunarti apabila korban Sunarti telah menyerahkan keperawanannya kepada terdakwa;
  13. Menimbang bahwa tindakan terdakwa yang meninggalkan korban Sunarti yang telah menyerahkan keperwanannya dalam kondisi mengalami pendarahan hebat bukan saja karena robeknya selaput dara (Hymen) tapi juga robeknya bagian tepi bawah vulva depan sampai seperempat distal bagian bawah dengan kedalaman + 1 cm akibat adanya tekanan penis terdakwa kedalam vagina korban yang belum pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya itu. Akibat tindakan terdakwa tersebut mengakibatkan korban Sunarti mengalami sakit hati, rasa malu dan trauma psikologis;
  14. Menimbang bahwa majelis hakim melakukan penafsiran yang diperluas terhadap makna “dengan acaman kekerasan memaksa perempuan untuk bersetubuh dengannya” yang dimaknai majelis hakim pengertian unsur dalam 285 KUHP tersebut termasuk didalamnya adalah perbuatan bujuk dan rayu terdakwa untuk memperdayai korban Sunarti dengan janji-janji palsu agar mau bersetubuh dan menyerahkan keperawanannya kepada terdakwa yang kemudian setelah korban Sunarti mau bersetubuh dan menyerahkan keperawanannya karenadiperdaya janji-janji manis terdakwa yang tidak akan meninggalkan korban Sunarti akan tetapi terdakwa justru meninggalkan saksi korban Sunarti yang mengalami pendarahan hebat darivaginanya dan mengakibatkan korban mengalami trauma mental akibat terdakwa tidak maubertanggungjawab atas perbuatannya tersebut ;
  15. Menimbang bahwa majelis hakim menilai bahwa tindakan terdakwa Janov sedari awal memiliki itikad buruk yakni hanya mau memperdaya dan menyetubuhi korban Sunarti hal ini sejalan dengan keterangan terdakwa dipersidangan yang menyatakan bahwa niat terdakwa hanya untuk menyetubuhi saksi Korban Sunarti dan tidak memiliki niat mau menikahi korban Sunarti dan faktanya setelah persetubuhan itu terdakwa meninggalkan korban Sunarti tanpa menghubungi lagi korban Sunarti pada hari-hari berikutnya sedangkan janji-janji manis terdakwa yang tidak akan meninggalkan saksi korban Sunarti setelah saksi korban menyerahkan keperawanannya kepada terdakwa, hal tersebut diakui hanya bujuk rayu terdakwa saja kepada korban Sunarti agar saksi korban mau menyerahkan keperawanannya kepada terdakwa. Dan ini Fakta ini berkorelasi positif dengan pengalaman terdakwa sebelumnya yang pernah menyetubuhi wanita lain yang juga kemudian ditinggalkan sampai kemudian terdakwa dilaporkan ke kantor Polisi dan atasannya akan tetapi kemudian terjadi perdamaian antara terdakwa dan korbannya tersebut akan tetapi terdakwa tidak pula menikahi korban tersebut;
  16. Menimbang bahwa masyarakat Bengkulu yang agamis dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral keislaman sampai saat ini masih menjujunjung tinggi norma-norma hukum adat terkait hal-hal yang menyangkut kesusilaan contoh misalnya yang kerap masyarakat adat Bengkulu praktekan adalah penerapan Hukum Adat Cuci Kampung yakni suatu tata nilai dan norma hukum tidak tertulis yang menjatuhkan hukuman denda, hukuman mengarak keliling kampong dan menikahkan pasangan laki-laki dengan perempuan yang terlibat perbuatan asusila. Maka dalam konteks norma hukum adatpun ketidakbertanggungjawaban terdakwa yang meninggalkan korban Sunarti yang telah disetubuhi dan direnggut keperawanannya setelah dibujuk, dirayu dan diperdaya janji-janji palsu tentu saja hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar normanorma kesusilaan. Sebagaimana disepakati para ahli hukum pelanggaran atas norna dan nilai adalah inti dari pelanggaran hukum;
  17. Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan Majelis Hakim meyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa yang membujuk dan merayu terdakwa dengan modus asmara atau pacaran atau janji-janji manis padahal sesungguhnya hal tersebut kebohongan belaka untuk memperdayai korban Sunarti Martini agar mau bersetubuh dan menyerahkan keperawanan korban kepada terdakwa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari makna unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dirinya di luar perkawinan” maka oleh karena itu unsur ini telah terbukti dan terpenuhi secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
  18. Menimbang bahwa modus kekerasan atau ancaman kekerasan seksual terkini ditemukan sudah tidak lagi selalu ditandai dengan adanya kekerasan yang bersifat fisik maupun ancaman yang bersifat intimidasi fisik yang mempengaruhi psikis korban. Perkembangan kekerasan dan ancaman kekerasan seksual telah berkembang bahkan dalam modus kekerasan dalam pacaran (dating violence). Bahwa kekerasan dan ancaman kekerasan seksual selalu memiliki ciri adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban serta adanya kondisi yang memaksa sehingga korban tidak berdaya untuk menolak keinginan pelaku/terdakwa. Kondisi yang memaksa tidak selalu ditandai adanya kekerasan fisik dan tubuh karena dalam konteks tindak pidana kesusilaan korban selalu dihadapkan pada situasi yang rumit. Misalnya dalam perbuatan Marital Rape dan Inses pelaku dan korban memiliki hubungan perkawinan dan hubungan darah yang erat sehingga ketika pelaku melakukan kekerasan seksual kemudian korban melakukan tindakan melawan atau berontak hal itu bisa berdampak pada resiko adanya perasaan malu pada diri korban karena dianggap sebagai aib bila masyarakat mengetahuinya serta timbulnya rasa bersalah pada korban bila hal tersebut dilaporkan pada kepolisian berdampak pada ditahannya suami atau anggota keluarga lainnya. Sehingga majelis hakim menilai “relasi kuasa dan kondisi memaksa yang tidak mampu ditolak oleh korbantersebut tentu bisa terjadi dalam modus bujuk rayu dan janjijanji palsu dalam hubungan asmara atau pacaran dengan janji-janji manis (gombal) misalnya janji menikahi korban apabila korban bersedia disetubuhi dan direnggut keperawanannya atau dalam konteks perkara ini Terdakwa Janov yang telah menjerat hati Korban Sunarti mengajak korban untuk bersetubuh dengan mengatakan kepada korban Sunarti dengan perkataan : “KALO ADEK MEMANG SAYANG SAMO KAKAK, JANGANKAN KEPERAWANAN ADEK, NYAWO ADEK PASTI ADEK KASIH”. Akan tetapi setelah korban Sunarti menyerahkan keperawanannya sampai mengalami pendarahan hebat pada bagian vaginanya justru terdakwa meninggalkan korban sendiri di Rumah Sakit dan tidak pula menghubungi dan menemui terdakwa pada hari-hari setelah kejadian tersebut;
  19. Menimbang bahwa persfektif tentang pengetahuan viktimologi (ilmu yang mempelajari tentang korban dari tindak pidana) dalam konteks perkara kesusilaan dan perkosaan kini telah menempatkan perlindungan korban pada tempat yang berimbang dengan perlindungan pelaku tindak pidana disatu sisi dan kekuasaan umum (Negara) disisi lain dalam sistem hukum pidana;
  20. Menimbang bahwa majelis hakim menilai viktimologi harus memberi ruang yang lebih adil untuk mengerti akan ekses negatif kondisi korban tindak pidana yang mengalami penderitaan mental, fisik dan sosial. Penilaian ini tidak bermaksud melebih-lebihkan perlindungan terhadap korban akan tetapi penting menjelaskan kedudukan korban dan hubungannya dengan pelaku guna mencegah pemahaman yang salah terhadap posisi korban yang seringnya dalam perkara kesusilaan/perkosaan selalu dalam stigma negatif
Bahwa Organisasi Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menyambut baik putusan tersebut dengan beberapa catatan penting. Pada dasarnya pasal 285 KUHP memang tidak mampu lagi memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 285 KUHP hanya mampu mencakup kekerasan yang bersifat fisik, dalam persidangan hal ini sangat mudah dipatahkan karena menuntut adanya bukti usaha perlawanan dari pihak perempuan yang menolak suatu pemaksaan bersifat kekerasan secara seksual.

Akibat dari pembuktian yang sangat sulit dari unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan” yang diartikan sangat sempit yaitu kekerasan secara fisik, maka banyak sekali cara perkosaan yang tidak menjadi cakupan Pasal 285 KUHP, diantaranya pemerkosaan dibawah pengaruh obat-obatan, penyesatan, tipu daya, tekanan psikologis, sampai dengan persetubuhan tanpa persetujuan korban. Dalam kasus yang sama, ICJR juga memandang hakim telah tepat mempertimbangkan adanya perkembangan kekerasan dan ancaman kekerasan seksual bahkan dalam modus kerasan dalam pacaran (dating violence). Bahwa kekerasan dan ancaman kekerasan seksual selalu memiliki ciri adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban serta adanya kondisi yang memaksa sehingga korban tidak berdaya untuk menolak keinginan pelaku. Kondisi yang memaksa tidak selalu ditandai adanya kekerasan fisik dan tubuh karena dalam konteks tindak pidana kesusilaan korban selalu dihadapkan pada situasi yang rumit.
 
REFERENSI
  1. Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) http://icjr.or.id/icjr-beri-apresiasi-perluasan-tafsir-unsur-perkosaan/, di akses tanggal 03 Maret 2016
  2. SR. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989
  3. Putusan PN BENGKULU Nomor 410/Pid. B/2014/PN. Bgl Tahun 2015 Tanggal 09-02-2015 Terdakwa : MYXE ZUL JANOVA Als. JANOVBin MEDIANTO, di akses tanggal 03 Maret 2016

You Might Also Like

3 komentar

  1. Alm. S.R. Sianturi dosen ku tuh...

    BalasHapus
  2. Mntab bang.. abang panutan ku sejak aku sebelum masuk kejaksaan. Tulisannya berarti sekali buat aku skrg

    BalasHapus