KASUS LUMPUR LAPINDO SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME
KASUS
LUMPUR LAPINDO SEBAGAI
KEJAHATAN KERAH PUTIH
“WHITE COLLAR CRIME”
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Individu, Mata Kuliah Kriminologi,
Semester Ganjil,
Tahun Akademik 2013/ 2014
Dosen
:
Prof. Harkristuti
Harkrisnowo, SH.,MA.,Ph.D
Disusun
oleh
:
Nama
: Rudi Pradisetia Sudirdja
NPM : 1306425031
No absen : 16
Kelas : SPP/I/Pid/Reg
PROGRAM PASCA
SARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2013
A. POSISI KASUS
Kasus
Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur
panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. Di Desa Renokenongo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006.
Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan permukiman,
pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta
mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur[1].
Lapindo Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui
perusahaan kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan
perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24 juta.
Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpangsiuran prosedur
dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi Lapindo diberikan
oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP
MIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa
Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
(Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan keleluasaan kepada Lapindo untuk
melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang (RUTR) Kabupaten
Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasi dan eksplotasi tersebut.[2]
Hasil
penyidikan yang telah dilakukan, aparat penyidik Polda Jawa Timur telah
menetapkan status tersangka kapada 9 (Sembilan) orang pagawai Lapindo, dan
dari hasil penyidikan ditemukan adanya unsur kelalaian dalam kasus tersebut.
Unsur kelalaian yang ditemukan adalah dalam melakukan eksplorasi , para pekerja
tidak melakukan pekerjaannya secara profesional dan aman menurut kaidah-kaidah
keteknikan yang baik. Demi melakukan efisiensi secara over, yang bertujuan
mendapatkan keuntungan secara maksimal, para pekerja tidak mengindahkan
ketentuan tentang prasyarat harus adanya casing dengan diameter dan
ketebalan tertentu ketika melakukan eksplorasi[3].
Analisanya sebagai berikut [4] :
Kelalaian disebabkan pada saat posisi drilling pada
kedalaman 9297 feet atau setara 3000 meter, mengalami mud logging hilang
tiba-tiba (lost circulation), dan sempat terjadi kick atau muncul
gas dibawah permukaan secara mendadak dan periodik, akhirnya terhenti. Volume
semburan lumpur telah melebihi volume yang lose di lubang pemboran,
sehingga yang tersembur keluar adalah shale dan air formasi, dari sinilah
diketahui bahwa pada kedalaman 9000 feet, Lapindo Brantas/EMP tidak
melakukan pemasangan chasing 9 5/8 inchi yang merupakan rambu keselamatan
dalam setiap pengeboran. Maka bila kita melihat hasil investigasi di lapangan,
kelalaian telah terjadi. Sebenarnya ketika “kehilangan sirkulasi/lost
circulation” di kedalaman +/- 9200 feet, dapat dilakukan “plug”
artinya sumur dimatikan dengan cara dipompakan semen kedalam sumur, namun tentu
saja hal ini akan mengeluarkan biaya yang tinggi dan sumur yang telah dibor
dimana telah menghabiskan biaya jutaan dollar menjadi sia-sia. Namun juga
dimungkinkan PT Lapindo melakukan kesengajaan, mengingat terdapat unsur lain
dengan tidak dipasangnya chasing (selubung)
tersebut pada kedalamanyang semestinya.
Sementara dari analisisa oleh para pakar, diduga penyebap terjadinya
semburan lumpur panas ini akibat pelaksanaan kerja yang tidak aman (unsafe
practices), Kekurangan-kekurangan yang dapat membahayakan jiwa (grave
shorcoming), dan kekurangan-kekurangan lain yang sangat signifikan (significant
flaws) sehubungan dengan pelaksanaan kerja yang menyangkut keselamatan
pekerja.
Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur
sejak 29 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas
sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan
jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak
secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan
kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga
bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar
semburan lumpur. Tulisan lingkungan fisik diatas adalah untuk membedakan
lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini
mengalami gangguan.
Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan
berbagai pihak selama ini antara lain [5]:
a. Lumpuhnya sektor
industri di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai mana diketahui Sidoarjo merupakan
penyangga Propinsi Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya dalam sektor industri.
Hingga kini sudah 25 sektor usaha tidak dapat beroperasi yang berakibat
hilangnya mata pencaharian ribuan karyawan
yang bekerja pada sektor industri tersebut.
b.
Lumpuhnya sektor
ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti rusaknya jalan,
jalan tol dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi kereta api
dll.
c. Kerugian di
sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah
diidentifikasi luas lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami
kerusakan, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian
Soetarto Alimoeso mengatakan area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang
terkena luapan lumpur Lapindo seluas 417 hektare. Lumpur telah menggenangi dua belas
desa di tiga kecamatan, tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur,
menggenangi sarana dan prasarana publik, Sekitar 30 pabrik yang tergenang
terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja
d. Dampak sosial
kehidupan masyarakat disekitar seperti sarana tempat tinggal, pendidikan, kesehatan,
sarana air bersih dll. Bahwa efek langsung lumpur panas menyebabkan infeksi
saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lumpur
tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila berlebihan menumpuk dalam
tubuh dapat menyebabkan kanker dan akumulasi yang berlebihan pada anak-anak
akan mengakibatkan berkurangnya kecerdasan.
e. Hasil uji laboratorium juga menemukan adanya kandungan
Bahan Beracun dan Berbahaya yaitu kandungan (B3) yang sudah melebihi ambang
batas. Hasil uji kualitas air lumpur Lapindo pada tanggal 5 Juni 2006 oleh
Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Timur, menunjukkan bahwa uji laboratorium
dalam air tersebut terdapat kandungan fenol. Kontak langsung dengan kulit dapat
mengakibatkan kulit seperti terbakar dan gatal-gatal. Fenol bisa berakibat
menjadi efek sistemik atau efek kronis jika fenol masuk ke dalam tubuh melalui
makanan. Efek sistemik fenol bisa mengakibatkan sel darah merah pecah
(hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal. Hal ini menunjukkan
bahwa selain dampak kerusakan lingkungan fisik, lumpur
panas tersebut juga mengakibatkan ancaman lain yaitu efek kesehatan yang sangat
merugikan dimasa yang akan datang dan hal
ini justru tidak diketahui oleh masyarakat korban pada umumnya.
B. LANDASAN
TEORI WHITE COLLAR CRIME
Konsep
White Collar Crime pertama kali
diperkenalkan oleh E. H. Sutherland dalam pidato bersejarahnya pada pertemuan
tahunan American Sociological Society
di Philadelphia pada tahun 1939. Pada saat itu Sutherland menyampaikan
pidatonya yang berjudul “The White Collar
Criminal”. Pidatonya ini didasarkan atas suatu penelitian yang telah
dilakukan lebih kurang 11 tahun lamanya. Dan yang diteliti ialah perilaku
melawan hukum dari 70 perusahaan diantara 200 “largest non-financial corporations”[6].
Menurut
Edwin Sutherland White collar crime
dapat didefinisikan sebagai [7]: a violation of criminal law by the person of the upper socio-economic
class in the course of his ocupational activities, yang mana dapat
diartikan sebagai sebuah bentuk kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang
memiliki status sosial yang tinggi dan dihormati yang berhubungan dengan
pekerjaannya.
Lebih
lanjut Sutherland menyatakan bahwa white collar crime merupakan suatu bentuk kejahatan yang berkaitan
dengan pelanggaran atas kepercayaan yang dimiliki oleh si pelaku melalui
pekerjaannya tersebut sehingga mengakibatkan disorganisasi sosial atau kerugian
yang sedemikian besar[8].
Inti
yang hendak ditegaskan olehh Sutherland mengenai definisi white collar crime diatas,
menurut Sahetapy adalah sebagai berikut[9] ;
1. Penegasan bahwa bentuk kejahatan White Collar Crime adalah termasuk juga
kedalam bentuk kejahatan Real
Criminality, sebab perbuatan para pemimpin korporasi termasuk perbuatan
yang melanggar hukum positif
2. Memberikan penegasan dan mengingatkan
bahwa komunitas yang melanggar hukum bukan hanya komunitas kalangan tidak mampu
atau miskin atau komunitas yang berasal dari kalangan rakyat kecil, melainkan
juga mereka yang berasal dari kalangan atas, kaya, status sosial terpandang dan
terhormat juga mampu melakukan kejahatan. Dengan demikian, anggapan bahwa
kejahatan bertalian dengan kemiskinan atau kemiskinan
merupakan penyebab seseorang melakukan kejahatan, menjadi terbantahkan.
3. Dengan konsep
White Collar Crime, Sutherland sesungguhnya ingin memberikan dasar yang lebih kokoh
bertalian dengan teorinya “differentian
association” yang telah dikemukakan lebih kurang satu dekade sebelumnya.
Penelitian
selanjutnya telah mengembangkan konsep white collar crime, bukan
hanya dilakukan oleh individual tetapi dapat pula dilakukan oleh organisasi.
Seperti studi yang dilakukan oleh Clinard (1946) terhadap perilaku pelanggaran
yang dilakukan oleh perusahaan bisnis saat Perang Dunia II, Hartung (1950)
terhadap industri daging di Detroit, Quinney (1963) terhadap pelanggaran yang
dilakukan toko obat/apotik, dan Geis (1967) terhadap pelanggaran anti monopoli
yang dilakukan oleh perusahaan listrik.[10]
Definisi
lain diberikan pula oleh Edelhertz, menurut dia white collar crime adalah
perbuatan atau serangkaian perbuatan ilegal yang dilakukan secara non fisik dan
dengan sembunyi-sembunyi atau tipu muslihat, untuk mendapatkan uang atau
barang, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau barang, atau
untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan maupun bagi diri sendiri.[11]
Clinard
dan Quinney, membagi white collar crime kedalam dua pembagian,
yaitu occupational crime dan corporate crime. Occupational
crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh individual untuk dirinya
sendiri dalam lingkup pekerjaannya atau kejahatan yang dilakukan pekerja
terhadap bosnya. Corporate crime adalah kejahatan yang
dilakukan oleh pekerja untuk kepentingan perusahaannya, atau kejahatan yang
dilakukan oleh perusahaan.[12]
Karakteristik
dari White Collar Crime menurut Harkristuti Harkrisnowo yang dikutip
dari Hazel Croall adalah [13]:
1.
Tidak kasat mata (low visibility).
2.
Sangat kompleks (complexity)
3.
Ketidakjelasan pertanggung-jawaban
pidana (diffusion of responsibility)
4.
Ketidakjelasan korban (diffusion of victims).
5.
Aturan hukum yang samar atau tidak jelas
(ambiguous criminal law)
6.
Sulit dideteksi dan
dituntut (weak detection and prosecution).
Kejahatan white collar crime dapat di kategorikan
sebagai berikut [14]:
1.
Committed against
corporations
a.
By their own employees
Kejahatan terhadap korporasi dilakukan oleh karyawan mereka sendiri,
seperti pencurian persedian, penggelapan.
b.
By other companies (suppliers, business partners,
competitors)
Kejahatan terhadap
korporasi dilakukan perusahaan lain, seperti pencurian hak cipta, pembajakan,
persaingan usaha tidak sehat.
c.
By (career) criminals
Kejahatan terhadap korporasi dilakukan
pelaku kriminal karir.
2.
Committed by corporations
a.
Against shareholders
Kejahatan dilakukan
korporasi terhadap pemegang saham, seperti penggelapan, penipuan terhadap
pendapatan
b.
Against public
Kejahatan dilakukan
korporasi terhadap masyarakat umum, seperti kejahatan lingkungan, penetapan
harga, iklan palsu.
c.
Against governments
Kejahatan dilakukan
korporasi terhadap pemerintah, seperti penipuan pajak. menyuap pejabat
pemerintah
d.
Against creditors
Kejahatan
dilakukan korporasi terhadap kreditur, seperti penipuan kepailitan.
3.
Committed against the
general public
a.
By corporations
Kejahatan dilakukan oleh korporasi terhadap masyarakat
umum, seperti penipuan kartu kredit, pencurian identitas, penipuan pajak,
penipuan asuransi, dll
b.
By career criminals
Kejahatan dilakukan oleh penjahat karir terhadap
masyarakat umum, seperti pembunuhan berencana, perampokan, pencurian, dll
c.
By government
Kejahatan dilakukan
pemerintah terhadap masyarakat umum, korupsi keuangan publik, pelanggaran ham.
4.
Committed against
governments
By
corporations, taxpayers, career criminals
Kejahatan terhadap pemerintah dapat dilakukan oleh
korporasi, penjahat karir, dan pembayar pajak.
Teori-teori
tentang kejahatan white collar crime
dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu [15]:
1. Individual
pathologies (blame the individual)
Kejahatan ini terkait dengan sifat manusia, dimotivasi oleh pemenuhan
kepentingan sendiri (kesenangan), menghindari rasa sakit. Penjahat ditandai
sebagai impulsif, agresif, kejam, serakah, pengambil resiko yang tidak memiliki
kepedulian terhadap orang lain. Kualifikasi penjahat menurut teori ini adalah
sama dengan kualifikasi seorang pembisnis dan politisi.
2. Organizational Pathology
Penyebab kejahatan terletak di
lingkungan organisasi. Adanya difusi tanggung jawab berarti tidak ada satu
orang bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut. Struktur & budaya
organisasi mencerminkan prioritas keuntungan dibanding moral & etika
Standar moral sangat rendah.
3. Cultural Pathology (Rooted in norms of Western
societies)
Didorong oleh sifat kapitalisme, konsumerisme, materialisme dan harapan
keberhasilan. Individu "dipaksa" untuk sukses dengan cara apapun.
Melanggar aturan adalah hasil logis dari kapitalisme: survival of the fittest. Dalam
sejarah (Amerika), sistem pasar bebas penuh dengan penipuan dan kekejaman,
C. PERUMUSAN MASALAH
1.
Apakah kasus lumpur lapindo tegolong white collar crime ?
2.
Kategori white collar crime yang mana
yang sesuai dengan kasus diatas ?
3. Apakah karakteristik penjahat dalam
kasus diatas sesuai dengan karakteristik penjahat dalam white collar crime ?
D. PEMBAHASAN
1.
Kasus lumpur lapindo sebagai kejahatan white collar crime
Sutherland menjelaskan, WCC adalah kejahatan yang
dilakukan oleh orang yang memiliki status sosial tinggi dan
dihormati yang berhubungan dengan pekerjaannya. PT Lapindo
Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran
PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Keluarga
Bakri adalah salah satu konglomerat di Indonesia (status sosial tinggi) dan
dihormati, telebih Abu Rizal Bakrie adalah salah satu pimpinan partai politik
besar di Indonesia. Kebocoran pipa gas dalam kasus lumpur lapindo disebabkan
oleh kesalahan manusia, akibat pelaksanaan kerja yang tidak aman (unsafe
practices). Unsur kesalahan (doluz
atau culpa) dalam kasus ini, adalah ketika melakukan eksplorasi ,
para pekerja tidak melakukan pekerjaannya secara profesional dan aman menurut
kaidah-kaidah keteknikan yang baik. Sehingga akibatnya, terjadi semburan lumpur
panas yang merugikan masyatakat Sidoardjo.
Unsur WCC menurut Edelhertz, serangkaian
perbuatan illegal, dilakukan secara sembunyi-sembunyi demi mendapat keuntungan
bagi perusahaan maupun diri sendiri. Dalam kasus ini, demi
melakukan efisiensi secara berlebih, yang bertujuan mendapatkan keuntungan
secara maksimal, para pekerja tidak mengindahkan ketentuan tentang prasyarat
harus adanya chasing. Chasing
merupakan rambu keselamatan yang harus ada dalam
setiap pengeboran. PT Lapindo berusaha
melakukan perbuatan illegal (tidak memasang chasing)
demi mendapatkan keuntungan untuk perusahaan.
Clinard
dan Quinney, membagi white collar crime kedalam dua pembagian,
yaitu occupational crime dan corporate crime. Kasus ini termasuk WCC dalam bentuk corporate crime, karena kejahatan
yang dilakukan oleh pekerja demi
kepentingan perusahaannya, bukan
dilakukan untuk kepentingan diri sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan tidak
dipasangnya chasing “demi
mengefisienkan pengeluaran”, hal ini tidak mungkin dilakukan oleh para pekerja
biasa, pasti dilakukan atas intruksi directing
mind (pengurus pengendali). Namun sayangnya, dalam kasus ini, pekerja
dilapangan yang dihukum. Penyidik Polda Jawa Timur telah menetapkan status
tersangka kapada 9 orang pagawai Lapindo,
2. Kategori Kejahatan white collar crime dalam kasus lumpur Lapindo
2. Kategori Kejahatan white collar crime dalam kasus lumpur Lapindo
Kasus lumpur lapindo termasuk WCC dalam kategori Committed by corporations Against public. (Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi terhadap masyarakat umum). Salah satu bentuk dari kategori WCC ini adalah, kejahatan lingkungan hidup. Kejahatan ini merugikan kepentingan umum (masyarakat banyak).
PT Lapindo berantas dalam melakukan ekplorasi gas (pengeboran) di wilayah Sidoardjo tidak memperhatikan pertimbangan analisis dampak lingkungan (AMDAL)[16], yang sebagaimana seharusnya dilakukan. Pertimbangan AMDAN terdiri dari [17]: jarak rumah penduduk dengan lokasi eksplorasi, mentaati standar operasional prosedur teknik eksplorasi, dan keberlanjutan lingkungan untuk masa yang akan datang.
Akibat tidak ditaatinya prinsip-prinsip diatas, mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, kerusakan lingkungan mengakibatkan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius dan mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat (sektor industri, ekonomi, pertanian, infrastruktur, dan kesehatan)[18].
3.
Karakteristik pelaku kejahatan dalam kasus lumpur lapindo
Dalam teori WCC Individual pathologies (blame the individual, disebutkan karakter pelaku kriminal dalam WCC sama dengan karakter dari pembisnis dan politisi untuk meraih kesuksesan (qualifications for successful businesspeople & politicians). Kejahatan ini terkait dengan sifat manusia, dimotivasi oleh pemenuhan kepentingan sendiri (kesenangan), menghindari rasa sakit. Penjahat ditandai sebagai impulsif, agresif, kejam, serakah, mengambil resiko yang tidak memperdulikan kepentingan orang lain.
Dalam kasus lumpur lapindo, directing mind (pengurus pengendali) dalam melaksanakan ekplorasi gas, terlalu mengejar keuntungan di bandingkan keselamatan kerja (tidak memperdulikan resiko terhadap orang lain). Hal ini bisa dibuktikan, dengan tidak tidak dipasangnya chasing demi mengefisienkan pengeluaran, dan tidak diperhatikanya AMDAL, sehingga mengakibatkan kerugian pada masyarakat.
Jika, dilihat dari teori cultural pathology perbuatan demikian dipengaruhi oleh sifat kapitalisme, konsumerisme, materialisme dari pengusaha tersebut. Sedangkan organizational pathology, bahwa struktur dan budaya perusahaan, mencerminkan prioritas keuntungan dibanding moral dab etika. Mereka melakukan cara apapun demi sebuah kesuksesan.
Maka, dilihat dari teori individual pathologies, cultural pathology, dan organizational pathology, karakter dari perusahaan PT Lapindo, orang orang yang mengendalikan (directing mind), secara keseluruhan sesuai dengan karakteristik pengusaha dan politisi dalam meraih kesuksesan, yaitu menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, tanpa memperhatikan prinsip moral dan etika.
E. KESIMPULAN
- Kasus meluapnya lumpur panas Sidoarjo, akibat pengeboran gas milik PT Lapindo Berantas dapat dikatakan sebagai kejahatan white collar crime, sebagaimana disebutkan, Edwin Sutherland, Edelhertz, Clinard dan Quinney.
- Kejahatan lingkungan hidup dalam kasus lumpur lapindo termasuk kategori WCC bentuk Committed by corporations Against public. (Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi terhadap masyarakat umum).
- Karakter perusahaan PT Lapindo, directing mind, sesuai qualifications for successful businesspeople & politicians.
DAFTAR PUSTAKA
Albert Morris, 1968, Criminals of The Upper World, In Gilbert Geis, Atherton Press, New York
Clinard and
Quinney, 1967, Criminal Behavioral System A
Typology
Edwin H. Sutherland, 1983, White Collar Crime, Binghamton, Yale University, 1983.
Harkristuti Harkrisnowo, Bahan Ajar : Crime
and Society, White Collar Crime and Corporate Crime, Universitas Indonesia,
Jakarta.
___________________,
Kriminalisasi Pencucian
Uang (Money Laundering) sebagai bagian dari White Collar Crime,
Makalah di sampaikan di Jakarta,
23 Agustus 2001
Helbert
Edelhertz,
1970, The Nature, Impact, and Prosecution
of White Collar Crime. US
Government Printing Office, Washington DC
Holt, Rinehart
and Wistons Inc, New York. disadur dari website ; http://qsukri.blogspot.com/2011/01/white-collar-crime.html
Ivan Valentina Ageung, Kejahatan Korporasi Dalam Kasus Luapan
Lumpur Lapindo Brantas Incorporated (Tesis), Universitas 17 Agustus 1945,
Jakarta.
J.E.
Sahetapy, 1994, Kejahatan Korporasi,
PT. Eresco, Bandung.
Lucky Raspati, Jerat
Tidak Pas Lumpur Panas, Universitas Andalas, http://raspati.blogspot.com/2007/12/jerat-tidak-pas-lumpur-panas.html
Rudi
M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000
[1] Ivan Valentina Ageung, Kejahatan Korporasi Dalam Kasus Luapan
Lumpur Lapindo Brantas Incorporated (Tesis), Universitas 17 Agustus 1945,
Jakarta, hlm. 99
[2] Ibid, hlm. 3-4
[3] Lucky Raspati, Jerat Tidak Pas Lumpur Panas,
Universitas Andalas, http://raspati.blogspot.com/2007/12/jerat-tidak-pas-lumpur-panas.html, diakses
27 November 2013
[5] Ibid, hlm. 5
[6] J.E. Sahetapy, 1994, Kejahatan
Korporasi,
PT. Eresco, Bandung, hlm. 16.
[7] Edwin H. Sutherland, 1983, White Collar Crime, Binghamton, Yale University, 1983, hlm. 7
[8] Ibid, hlm. 10
[9] Sahetapy J.E, Op.Cit,
hlm. 19-20
[10] Albert
Morris, 1968, Criminals
of The Upper World, In Gilbert Geis (ed.), Atherton Press, New York, hlm. 35.
[11] Helbert
Edelhertz,
1970, The
Nature, Impact, and Prosecution of White Collar Crime, Government Printing
Office, Washington.
[12] Clinard
and Quinney,
1967, Criminal
Behavioral System A Typology,
Holt, Rinehart and Wistons Inc, New
York, hlm. 188, disadur dari website
; http://qsukri.blogspot.com/2011/01/white-collar-crime.html
[13] Hazzel Croal, 1992,
White Collar Crime, dikutip oleh
Harkristuti Harkrisnowo, Kriminalisasi Pemutihan Uang (Money Laundering)
sebagai bagian dari White Collar Crime, (Makalah disampaikan pada seminar
Money Laundering (Pencucian Uang) Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Ekonomi,
Jakarta, 23 Agustus 2001), hlm. 4
[16] AMDAL merupakan suatu prosedur preventif yang memberikan analisa
menyeluruh dan terinci tentang segala dampak langsung yang mungkin timbul dari proyek yang direncanakan, cara-cara
yang mungkin mengatasinya dan rencanam kerja untuk mengelola, mengawasi dan mengevaluasi dampak-dampak yang ditimbulkan dan efektifitas
pelaksanaan rencana kerja
0 komentar