PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGANTI (VICARIOUS LIABILITY)
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGANTI (VICARIOUS
LIABILITY)
(Pembaharuan Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Indonesia)
Oleh :
Rudi Pradisetia Sudirdja, SH
( Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia)
Vicarious
liability adalah suatu
pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang
lain (the legal responsibility of one
person for the wrongful acts of another).[1]
Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious
liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan
yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada
dalam ruang lingkup pekerjaannya (the
legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for
example, when the acts are done within scope of employment)[2].
Sutan Remy Sjahdeini menterjemahkan vicarious
liability menjadi pertanggungjawaban vikarius[3]
atau pertanggungjawaban pengganti.
Dalam kamus Henry Black vicarious liability diartikan sebagai
berikut[4]
:
The
liability of an employer for the acts of an employee, of a principle for torts
and contracts of an agent (pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja; atau
pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak).
Ajaran vicarious
liability diambil dari hukum perdata yang kemudian dipakai dalam praktik
hukum pidana. Ketentuan ini misalnya dapat dilihat dalam hukum Pasal 1367 KUH
Perdata yang berbunyi “Setiap orang tidak
saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di
bawah pengawasannya”. Dalam pasal ini disebutkan bahwa vicarious liability dapat timbul dalam hubungan-hubungan sebagai
berikut ; (a) tanggung gugat orang tua atau wali terhadap perbuatan anaknya
yang belum dewasa; (b) tanggung gugat majikan terhadap kerugian yang ditimbulkan
oleh perbuatan karyawan; dan (c) tanggung gugat guru-guru sekolah atas
perbuatan murid-muridnya.
Mengutip pendapat Jowitt dan Walsh,
Sutan Remy Sjahdeni menjabarkan tentang vicarious
liability berasal dari doktrin respondeat
superior, dimana dalam ajaran tersebut hubungan antara master dengan servant atau
principal dengan agent berlaku maxim qui facit
per alium facit per se. Dimana menurut doktrin tersebut, seorang yang
berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu.[5]
Dalam hukum Inggris, vicarious liability dapat timbul dalam
beberapa bentuk hubungan yaitu :
- principal
and agent. Jika seorang agent bertindak
dalam scope authority-nya maka semua perbuatan melawan hukum (tort) yang dilakukan agent akan menjadi tanggung jawab
principalnya.
- partnership.
Semua partner dalam sebuah partnership bertanggung jawab atas tindakan
dari salah satu pihak diantara mereka.
- master
and servant. Master (majikan) bertanggung
jawab atas tindakan tort yang
dilakukan oleh servant (karyawan)
dalam melakukan pekerjaannya.
Apabila dilihat dari konsep pertanggungjawaban pidana,
ajaran vicarious liability mirip
dengan konsep penyertaan (deelneming).
Dimana keduanya mensyaratkan ada (minimal) dua orang yaitu pelaku yang memenuhi
rumusan delik (pelaku fisik) dan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik
(bukan pelaku fisik) yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Menurut Surastini,
ajaran ini merupakan perluasan pertanggungjawaban pidana dari konsep
penyertaan. Adapun perbedaannya dapat dilihat :
- Penyertaan
(Deelneming)
Pertanggungjawaban terhadap
“bukan pelaku fisik” (penyuruh, penggerak) berdasarkan unsur kesengajaan (niat,
kehendak untuk melakukan tindak pidana)
- Pertanggungjawaban
pengganti (Vicarious liability)
Pertanggungjawaban
pidana terhadap “bukan pelaku fisik” (atasan, majikan) bukan berdasarkan unsur
kesengajaan, tetapi atas dasar adanya hubungan tertentu antara yang
bersangkutan dengan pelaku fisik.
Perluasan
tersebut dapat dilihat bahwa dalam
penyertaan, “bukan pelaku fisik”
dapat dipertanggungjawabkan pidana ketika terdapat unsur kesengajaan (mens rea), sedangkan dalam vicarious liability tanpa kesengajaan
pun seseorang dapat dipertanggungjawabkan pidana asalkan terdapat hubungan
tertentu.
Contoh kasus untuk vicarious liability sebagai berikut [6]:
X, seorang pemilik tempat menjual
makanan dan minuman telah melarang Y (manajer rumah makkan/minum tersebut)
untuk mengizinkan atau menyediakan pelacuran di tempat itu, tetapi Y telah
melanggarnya. X tetap dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan. Dasar
pertimbangannya antara lain dikonstruksikan sebagai berikut: “X telah
mendelegasikan kewajibannya kepada Y sebagai manager. Ia telah melimpahkan
pelaksanaan dari kebijaksanaan tindakan di bidang perdagangan itu kepada
manager, ini berarti hanya ada suatu kesimpulan yaitu bahwa pengetahuan si
manager adalah pengetahuan dari si pemilik rumah makan/minum itu.”
Lain halnya jika misalnya x
sebagai pemilik restoran telah menyatakan kepada pelayannya Y, untuk tidak
menjual minuman keras kepada orang-orang yang tidak membeli makanan. Dalam hal
Y, si pelayan, telah melangar, X tidak dapat dinyatakan bersalah atas
pelanggaran UU.
Menurut
Barda Nawawi Arief, dalam pelaksanaanya vicarious
liability memiliki beberapa batasan, dimana seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain apabila[7]
: (1) tidak masuk lingkup pekerjaan atau
kewenangannya; (2) yang dilakukan employee
merupakan perbuatan bantuan/pembantuan (aiding and abetting); (3) yang dilakukan employee adalah percobaan tindak pidana
(attempt to commit an offence).
Mahrus Ali berpendapat, ada dua syarat penting yang harus
dipenuhi untuk dapat menerapkan teori vicarious
liability, yaitu : (1) harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan
pekerjaan antara majikan dan pekerja; dan (2) tindak pidana yang dilakukan oleh
pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya[8].
Romli Atmasasmita, mempertegas bahwa vicarious liability hanya berlaku terhadap
jenis tindak pidana tertentu menurut hukum pidana Inggris, yakni delik-delik
yang mensyaratkan kualitas dan delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan
antara buruh dan majikan. Sedangkan, Scanlan
dan Ryan, dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini berpendapat, seorang pemberi kerja
hanya dapat dibebani pertanggungjawaban pidana secara vikarius apabila
perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya adalah dalam rangka tugas pegawainya
itu. Secara a contrario hal itu
berarti seorang pemberi kerja tidak harus memikul pertanggungjawaban pidana
atas perbuatan yang dilakukan pegawainya apabila perbuatan itu dilakukan di
luar atau tidak ada hubungan dengan tugasnya[9].
Di Indonesia, sampai sekarang Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP) belum menganut asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Walaupun demikian,
para pembuat undang undang dan akademisi sudah mengisyaratkan akan
memberlakukan doktrin ini dalam hukum pidana yang akan datang. Sebagaimana
dikatakan Mardjono Reskodiputro, doktrin vicarious
liability dari sistem hukum Anglo-Amerika perlu di adaptasikan (atau
dicangkokkan) pada sistem hukum Indonesia yang berasal dari sistem hukum eropa
kontinental[10]. Isyarat
ini dapat dilihat dalam RKUHP tahun 2012, dalam pasal 38 dirumuskan :
(1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang‑Undang dapat
menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
(2) Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap
orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang
lain.
Menurut saya, doktrin
vicarious liability dari sistem hukum
Anglo-Amerika perlu di adopsi oleh sistem hukum pidana Indonesia. Pertama, ajaran
ini diharapkan akan memberikan deterrence
atau pencegahan sekaligus pembinaan, agar pemberi kerja (atasan) senantiasa
melakukan pengawasan terhadap kinerja bawahannya, karena mereka harus
bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pekerjanya apabila ia
melakukan tindak pidana dalam lingkup tugasnya. Kedua, ajaran ini merupakan
perluasan pertanggungjawaban pidana, yang mana selama ini atasan atau
perusahaan selalu berlindung dari keharusan memikul pertanggungjawaban pidana
dengan dalih telah mendelegasikan kegiatan-kegiatan perusahaan yang berpotensi
illegal kepada pegawainya.
Pemberlakuan doktrin vicarious liability di Indonesia dalam masa yang akan datang, harus dilakukan dengan
pembatasan-pembatasan yang ketat sebagaimana diungkapkan oleh para pakar
diatas. Diantaranya hanya perbuatan yang ditentukan oleh undang undanglah yang
dapat dimintai pertanggungjawaban secara vikarius (pasal 38 ayat 2 RKUHP Tahun
2012). Hal ini bertujuan untuk tetap menghormati dan melindungi hak asasi
manusia sebagai hak dasar warga negara.
[6]
Barda Nawawi Arief, Masalah Pemidanaan
Sehubungan dengan Perkembangan delik-delik Khusus dalam masyarakat Modern, kertas
kerja pada Seminar Perkembangan delik-delik Khusus dalam masyarakat yang Mengalami
Modernisasi BPHN dan FH Universitas Airlangga Surabaya, tanggal 25-27 Februari
1980, (Bandung: Binacipta, 1982), dikutip oleh Muladi, Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Kencana, Jakarta, hlm.113.
[10] Mardjono Reksodiputro, 2007, Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan
(Kumpulan Karangan Buku Kesatu), Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta,
hlm. 113
REFERENSI
:
Barda Nawawi
Arief, Masalah Pemidanaan Sehubungan
dengan Perkembangan delik-delik Khusus dalam masyarakat Modern, kertas
kerja pada Seminar Perkembangan delik-delik Khusus dalam masyarakat yang
Mengalami Modernisasi BPHN dan FH Universitas Airlangga Surabaya, tanggal 25-27
Februari 1980, (Bandung: Binacipta, 1982), dikutip oleh Muladi, Dwidja
Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, Kencana, Jakarta
Mahrus Ali,
2013, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi ,PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta
Mardjono
Reksodiputro, 2007, Kemajuan Perkembangan
Ekonomi dan Kejahatan (Kumpulan Karangan Buku Kesatu), Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta
Romli
Atmasasmita, 1989, Asas-asas Perbandingan
Hukum Pidana, Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta
Sutan
Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers,
Jakarta
2 komentar
ka, saya mau bertanya tentang asa pertanggungjawaban mutlak dalam RUU KUHP itu apa ya? saya kurang mengerti mohon bantuannya
BalasHapusBagaimanakah sistem pertanggungjawaban terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana ?
BalasHapus