ALIRAN KRITIS DALAM KRIMINOLOGI
ALIRAN KRITIS DALAM KRIMINOLOGI
Oleh :
Rudi Pradisetia Sudirdja, SH
(Mahasiswa Magister Hukum Pidana Universitas Indonesia)
Oleh :
Rudi Pradisetia Sudirdja, SH
(Mahasiswa Magister Hukum Pidana Universitas Indonesia)
A. PENDAHULUAN
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil definisinya secara etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu /pengetahuan tentang kejahatan.[1] Kriminologi sebagai bidang studi tentang kejahatan dapat ditelusuri melalui sejarah panjang dari buku-buku teks yang terbit di Eropa dan Amerika beberapa waktu yang lampau, khususnya yang berisi teori-teori tentang kejahatan. Sebagai studi ilmiah tentang kejahatan, kriminologi tumbuh dan berkembang sebagai rekasi dari “kekacauan” dan ketidak tertiban di Negara-negara Eropa abad 18 dan 19 dengan harapan bahawa ilmu pengetahuan baru dapat menemukan hukum alam yang memungkinkan masyarakat berkembang melalui program untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Akibatnya segala sesuatu yang dipandang sebagai dapat mengganggu terwujudnya kesejahteraan masyarakat seperti kejahatan, dipandang sebagai melanggar hukum alam.
Pemikiran kritis yang di kenal dalam berbagai disiplin ilmu seperti politik,ekonomi,sisiologi dan filsafat, muncul kepada beberapa dasarwasa terakhir ini. Aliran pemikira kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan apakah priklaku manusia itu bebas atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarah pada menpelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup[2].
Pandangan
ini lahir ketika pandangan klasik tidak mampu lagi mengungkap kejahatan yang
telah bergeser kearah yang lebih politis. Kriminologi (teori) kritis bertugas
untuk menganalisis proses-proses
begaimana stigma/cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan
orang-orang tertentu. Menurut Richard Queinney, kajian kriminologi kritis dalam
mempelajari masalah kejahatan dan penjahat tidak lagi meletakkan pusat
perhatiannya pada dan sekitar si penjahat, akan tetapi pada struktur sosial
dengan taat hukumnya[3].
B. PEMIKIRAN KEJAHATAN KRIMINOLIGI KRITIS
Krimimnologi kritis
berpendapat bahwa fenomena kejahatan adalah sebagai
konstruksi sosial, artinya apabila masyarakat mendefinisikan tindakan tertentu
sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan pada waktu
tertentu memenuhi batasan sebagai
kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang berdiri sendiri yang dapat
diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektif oleh ilmuan sosial, sebab dia
ada hanya karena hal itu dinyatakan sebagai demikian oleh “masyarakat”. Oleh
karenanya, kriminoligi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan
tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjukan sebagai criminal
pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari
perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi
juga perilaku dari agen-agen control
social (aparat penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya
tindakan-tindakan tertentu sebagai kejahatan.
1.
Siapa Penjahat ?
Menurut kriminologi
kritis, maka tingkat kejahatan dan cirri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh
bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Misalnya apabila sebagian besar
pelaku kejahatan adalah orang-orang yang miskin, maka bukan kemiskinan yang
merupakan sebab kejahatan, akan tetapi karena bentuk tindakan yang dilakukan
oleh orang-orang miskin lebih banyak ditunjukkan oleh undang-undang sebagai
kejahatan dan dalam bekerjanya hukum maka undang-undang seperti inilah yang
lebih banyak dijalankan ini berarti bahwa kita tidak dapat memahami kejahatan
semata-mata dengan mempelajari penjahat
(“resmi”), akan tetapi harus dilihat dalam konteks keseluruhan proses
kriminalisasi yakni proses yang mendefinisikan orang dan tindakan tertentu
sebagai kejahatan.
2.
Penyebab Kejahatan
Kejahatan bisa terlahir karena adanya kekuasaan. Menurut
Yasraf Amir Piliang[4];
Ketika kejahatan itu dilakukan oleh negara, maka kejahatan itu menjelma menjadi
perfect crime, disebabkan hukum dan
sistem hukum menjelma menjadi kejahatan itu sendiri’. Hukum kini menjelma sebagai institusi
semiotik, yang didalamnya beroperasi tanda-tanda palsu (pseudo sign), tanda dusta (false
sign) dan tanda artifisial (artificial sign). Tanda tanda (pengadilan,
tersangka, barang bukti, saksi sebagai elemen semiotik) kini digunakan untuk mengaburkan
realitas, memalsukan kebenaran dan keadilan”.
Dalam menemukan sebab kejahatan
menurut aliran kritis dapat digunakan dua pendekatan. Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan
antara pendekatan "interaksionis" dan "konflik"[5].
a. Pendekatan interaksionis
Pendekatan interaksionis berusaha
untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu
didefinisikan sebagai kriminal dimasyarakat tertentu dengan cara mempelajari
"persepsi" makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang
bersangkutan. Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang dimiliki agen
kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat. Disamping
itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan
dalam mendefinisikan seseorang sebagai penjahat. Dengan demikian untuk dapat
memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti
baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni yang
dijadikan orang (orang) tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses
kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep
"penyimpangan" (deviance)
dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai bagian dari "penyimpangan
sosial" dalam arti bahwa tindakan yang bersangkuatan "berbeda"
dari tindakan - tindakan yang dipandang sebagai normal atau "biasa"
dimasyarakat, dan terhadap "tindakan menyimpang" tersebut diberikan
reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan
orang - orang tersebut sebagai "berbeda" dan "jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang
menyimpang dari masyarakat tertentu tergantung pada masyarakat itu sendiri.
Kadang -kadang kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan itu tidak begitu
jelas, sehingga pada akhirnya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa
dan hakim. (Misalnya pada kasus-kasus "perkosaan", khususnya tentang
batas - batas "godaan" yang boleh dilakukan pria). Dalam arti luas, kejahatan
(penyimpangan) seperti halnya kecantikan, ada di mata yang memandangnya. Dengan
demikian penyimpangan dan dan reaksi sosial merupakan hubungan timbal balik
yang hanya dapat dipahami dalam hubungan satu dengan yang lain. Dasar pemikiran
interaksionis ini bersumber pada "symbolic
interactionism" yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan
bahwa "sumber" perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh peranan
kondisi - kondisi sosial akan tetapi juga peranan individu dalam menangani,
menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi - kondisi yang bersangkutan.
Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari
lingkungannya. Sebaliknya pendekatan konflik lebih memfokuskan studinya dalam
mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan kejahatan.
b.
Pendekatan
konflik
Menurut pendekatan
“konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang dimilikinya dalam perbuatan dan
bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka yang memiliki
kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam mendefinisikan kejahatan
adalah sebagai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan dirinya
sendiri. Secara umum kejahatan sebagai kebalikan dari kekuasaan; semakin besar
kekuasaan seseorang atau sekelompok orang semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan
kejahatan dan demikian juga sebaliknya. Orientasi sosio-psikologis teori ini
pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep
“proses sosial” dari perilaku kolektif.
Pendekatan konflik
beranggapan, bahwa hukum sebenarnya berisi nilai-nilai yang tidak mencerminkan
keinginan seluruh masyarakat, tetapi hanya mencerminkan keinginan dari
sekelompok warga masyarakat yang pada waktu itu memiliki kekuasaan dalam bidang
politik, ekonomi dan sosial.
Menurut kriminologi konflik, orang
berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatannya dan
bekerjanya hukum Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat
kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik (menguntungkan)
dalam mendefinisikan perbuatan - perbuatan yang bertentangan dengan nilai -
nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka dapat
mencegah dijadikannya tindakan - tindakan tersebut bertentangan dengan nilai -
nilai dan kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan: semakin besar kekuasaan yang
dimiliki seseorang atau kelompok orang - orang, semakin kecil kemungkinannya
untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi sosio -
psikologis teori konflik terletak pada teori - teori interaksi sosial mengenai
pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari perilaku
kolektif.
Pengaruh timbal balik yang
berlangsung secara terus menerus didalam menjaga keseimbangan (stabilitas) yang memberi arti penting bagi ciri "perilaku kolektif
yang berbeda dengan ide perilaku individual yang stimulan. Arus yang berubah
ubah dari tindakan kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran posisi secara terus menerus,
dalam arti kemungkinan
mendapatkan status atau sebaliknya akan kehilangan. Akibatnya ada kebutuhan
untuk menjaga dalam mempertahankan posisinya, disamping untuk selalu berusaha
memperoleh kesempatan dalam memperbaiki status didalam hubungan dengan
kelompok-kelompok yang ada Dengan demikian, menurut aliran pemikiran ini,
konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial
dimana kelangsungan sosial bergantung.
1. Keadaan
di Amerika Serikat
Keadaan masyarakat
yang gonjang di Amerika Serikat dalam tahun 1960-an, sesedah berakhirnya perang
dingin juga telah mendorong kriminogi kritis yang menarik perhatian. Penganut
teori radikal atau kritis diantaranya :
a. Herman dan Julia Schwendinger
Tahun 1938 Thorsen Sellin telah mengemukakan pendapat bahwa ahli-ahli kriminologi harus dapat membebaskan diri dari pembatasan-pembatasan yang telah dibuat oleh hukum pidana, sebab apabila ahli kriminologi berpegang teguh dari definisi-definisi kriminologi tentang kejahatan yang telah diberikan oleh hukum pidana maka ini akan berakibat bahwa bidang dari kriminologi dibatasi oleh studi dari perilaku yang telah didefinisikan secara hukum pidana.
Sutherland tentang white collar crime merumuskan pelanggaran-pelanggaran hukum perdata sebagai kejahatan, oleh karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih banyak mempunyai sifat luka-luka sosial daripada kerugian-kerugian pribadi. Biasanya isu-isu moral ini dinyatakan dalam bentuk istilah-istilah yang tidak dianalisa seperti luka sosial, perilaku anti sosial atau kerugian publik. Menurut suami istri Schwendinger dalam menjelaskan istilah-istilah tersebut atas dasar hak-hak individu yang ditentukan secara historis, yang lebih terkenal sebagai hak asasi manusia.
Penting untuk mengetahui batas-batas politik dari doktrin etis tentang nilai-nilai intrinsik yang sama yang diterapkan pada manusia-manusia. Doktrin ini menyatakan pada umumnya bahwa manusia harus dipandang tidak sebagai cara-cara melainkan sebagai tujuan-tujuan sendiri.
Istilah imperialisme, rasisme, seksisme dan kemiskinan tercakup didalamnya tanda-tanda untuk teori-teori dari hubungan-hubungan sosial atau sistem-sistem sosial yang menyebabkan pencabutan secara sistematik dari hak-hak asasi sehingga dapat disebut kejahatan.
b. Richard Quinney
Kriminologi dalam mempelajari masalah kejahatan dan penjahat tidak lagi meletakkan pusat perhatiannya pada dan sekitar si penjahat, akan tetapi pada struktur sosial dengan taat hukumnya. P. Moedikdo dengan pendapatnya adalah tidak jelas apa yang dimaksudkan oleh Quinney dengan penggantian hukum dengan adat. Apabila dia ingin menetang hipostase dengan pemutlakan hukum yang ada sebagai suatu yang berdiri sendiri dalam masyarakat, jadi hukum tidak hanya sebagai suatu aturan dari prosedur yang dibuat dan dipertahankan oleh manusia, maka Quinney dengan formulasinya tidak mengenai sasarannya. Apabila yang dipikirkan adalah apa yang didalam masyarakat primitive disebut sebagai hukum kebiasaan sebagai pengganti dari hukum, maka dia sama sekali tidak mengingat bahwa hukum yang modern dapat mempunyai fungsi perlindungan warga yang makin besar terhadap pemegang-pemegang kekuasaan yaitu apabila warga yang telah menjadi dewasa lebih berkuasa dalam masyarakat dan ada suatu rasa solidaritas otentik dengan mereka yang secara sosial diterbelakangkan.
c. Tony Platt
Akar-akar dari radikalisme ini dapat ditemukan dalam perjuangan-perjuangan politik, gerakan hak-hak perdata, gerakan anti perang, gerakan mahasiswa, gerakan pembebasan dunia ketiga di dalam maupun di luar Amerika Serikat, dan gerakan-gerakan anti imperialisme dan di dalam tulisan-tulisan peserta-peserta dalam perjuangan-perjuangan ini.
a. Herman dan Julia Schwendinger
Tahun 1938 Thorsen Sellin telah mengemukakan pendapat bahwa ahli-ahli kriminologi harus dapat membebaskan diri dari pembatasan-pembatasan yang telah dibuat oleh hukum pidana, sebab apabila ahli kriminologi berpegang teguh dari definisi-definisi kriminologi tentang kejahatan yang telah diberikan oleh hukum pidana maka ini akan berakibat bahwa bidang dari kriminologi dibatasi oleh studi dari perilaku yang telah didefinisikan secara hukum pidana.
Sutherland tentang white collar crime merumuskan pelanggaran-pelanggaran hukum perdata sebagai kejahatan, oleh karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih banyak mempunyai sifat luka-luka sosial daripada kerugian-kerugian pribadi. Biasanya isu-isu moral ini dinyatakan dalam bentuk istilah-istilah yang tidak dianalisa seperti luka sosial, perilaku anti sosial atau kerugian publik. Menurut suami istri Schwendinger dalam menjelaskan istilah-istilah tersebut atas dasar hak-hak individu yang ditentukan secara historis, yang lebih terkenal sebagai hak asasi manusia.
Penting untuk mengetahui batas-batas politik dari doktrin etis tentang nilai-nilai intrinsik yang sama yang diterapkan pada manusia-manusia. Doktrin ini menyatakan pada umumnya bahwa manusia harus dipandang tidak sebagai cara-cara melainkan sebagai tujuan-tujuan sendiri.
Istilah imperialisme, rasisme, seksisme dan kemiskinan tercakup didalamnya tanda-tanda untuk teori-teori dari hubungan-hubungan sosial atau sistem-sistem sosial yang menyebabkan pencabutan secara sistematik dari hak-hak asasi sehingga dapat disebut kejahatan.
b. Richard Quinney
Kriminologi dalam mempelajari masalah kejahatan dan penjahat tidak lagi meletakkan pusat perhatiannya pada dan sekitar si penjahat, akan tetapi pada struktur sosial dengan taat hukumnya. P. Moedikdo dengan pendapatnya adalah tidak jelas apa yang dimaksudkan oleh Quinney dengan penggantian hukum dengan adat. Apabila dia ingin menetang hipostase dengan pemutlakan hukum yang ada sebagai suatu yang berdiri sendiri dalam masyarakat, jadi hukum tidak hanya sebagai suatu aturan dari prosedur yang dibuat dan dipertahankan oleh manusia, maka Quinney dengan formulasinya tidak mengenai sasarannya. Apabila yang dipikirkan adalah apa yang didalam masyarakat primitive disebut sebagai hukum kebiasaan sebagai pengganti dari hukum, maka dia sama sekali tidak mengingat bahwa hukum yang modern dapat mempunyai fungsi perlindungan warga yang makin besar terhadap pemegang-pemegang kekuasaan yaitu apabila warga yang telah menjadi dewasa lebih berkuasa dalam masyarakat dan ada suatu rasa solidaritas otentik dengan mereka yang secara sosial diterbelakangkan.
c. Tony Platt
Akar-akar dari radikalisme ini dapat ditemukan dalam perjuangan-perjuangan politik, gerakan hak-hak perdata, gerakan anti perang, gerakan mahasiswa, gerakan pembebasan dunia ketiga di dalam maupun di luar Amerika Serikat, dan gerakan-gerakan anti imperialisme dan di dalam tulisan-tulisan peserta-peserta dalam perjuangan-perjuangan ini.
2. Keadaan
di Inggris
Pendekatan
radikal atau kritis di Inggris terjadi sewaktu diselenggarakannya suatu
konferensi di York dalam tahun 1968. Konferensi ini diselenggarakan oleh
beberapa sarjana kriminologi muda seperti Stanley Cohen, Ian Taylor, Palu
Walton dan Jck Young disebut National
Deviancy Conference (NDC). Menurut H. Bianchi pokok-pokok berikut merupakan
dasar dari rasa kebersamaan NDC : pertama, ini adalah suatu
percobaan untuk sampai pada suatu kriminologi yang non pemerintah yang tidak
lagi dengan sendirinya menerima isu-isu pemberantasan kejahatan dari penguasa. Kedua, merupakan suatu protes
terhadap cara dengan mana cara-cara komunikasi nasional dan internasional yang
dilakukan oleh para sarjana kriminologi akhirnya berakhir, ketiga merupakan suatu
penolakan dari pragmatism dan empirisme khususnya dari kriminologi Inggris; keempat, suatu penolakan dari
kriminologi penelitian konvensional sepanjang kriminologi tersebut berlandaskan
pada positivisme dan kebebasan nilai; kelima suatu pembebasan dari
kriminologi dari apa yang disebut penanganan multidisipliner dan membuat suatu
pondasi baru baginya dalam ilmu-ilmu sosial; keenam, membentuk pemahaman
ideology baru dan pembentukan teori-teori berdasar mengenai gejala penyimpangan
dan kontrol sosial.
Taylor, Walton dan
Young menyimpulkan pendapat-pendapat mereka sebagai berikut : “Suatu
kriminologi yang adequate untuk
mengerti dari perkembangan-perkembangan ini dan yang akan mampu untuk
mengembalikan politik di dalam diskusi tentang apa yang sebelumnya dianggap
isu-isu teknis, harus dapat menangani masyarakat secara totalitas. Suatu teori
yang normative, artinya harus menunjukkan kemungkinan-kemungkinan dari suatu
resolusi terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental dan suatu resolusi sosial.
3. Keadaan
di Nederland
WH.
Nagel mengatakan kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan dan bahwa
pengetahuan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan politik adalah suatu
pernyataan politik sendiri. Kriminalitas politik sebagai salah satu fenomena kriminal yang penting
itu harus secara terbuka dimasukkan dalam program-program kongres-kongres
kriminologi. Bahwa tidak mungkin lagi untuk memisahkan sama sekali politik dari
kriminologi, kriminologi sekarang bukan lagi semata-mata suatu kriminologi yang
etiologis, bukan kriminologi faktor-faktor
dan bukan kriminologi yang berpusat pada pelaku.
Paling
tidak ada dua pengaruh baru yang telah merubah kriminologi dalam waktu tiga
puluh tahun. Mereka telah sangat memperluas obyek kriminologi. Dan dengan
perluasan itu tidak hanya dimungkinkan untuk melibatkan politik dalam kriminologi,
melainkan tidak mungkin untuk tidak melibatkannya. Pengaruh baru yang
pertama dari kriminologi dibentuk oleh
pandangan viktimologis, pandangan ini adalah bahwa data mengenai pelaku yaitu
kepribadiannya yaitu kondisi-kondisi dia yang psikologis, biologis dan sosial
tidak banyak artinya tanpa kita tahu korban yang mana yang dihadapinya, dan
dalam hubungan yang bagaimana. Tanpa adanya interaksi antara pelaku dan korban
ternyata kriminologi adalah yang cacat. Pengaruh yang kedua menurut Nagel berasal
dari sosiologi hukum. Dalam sosiologi hukum undang-undang dikaji berdasarkan
fakta-fakta. Tidak mengakui adanya suatu lex
naturalis, bahwa undang-undang hari ini dan akan datang berbeda dari
undang-undang hari esok, dan kenyataannya bahwa undang-undang merupakan suatu
institusi buatan manusia mengimplisitkan pertanggungjawaban dan perhatian
ilmiah kita kepada pembentuk-pembentuk undang-undang dan pembentuk-pembentuk
keputusan hukum.
D.
KESIMPULAN
Tindakan menyimpang merupakan hasil dari proses politik, dimana
undang-undang merumuskan larangan-larangan atau perilaku yang diharapkan dalam
keadaan tertentu. Kejahatan dalam teori ini ditentukan oleh bagaimana
undang-undang dirumuskan dan dijalankan. Menurut Pendekatan ini kemiskinan
bukanlah “sebab” kejahatan, akan tetapi karena bentuk-bentuk tindakan yang
dilakukan oleh orang-orang miskin lebih banyak ditunjuk oleh undang-undang.
Dalam menilai sebab
kejahatan dalam aliran kritis dapat dilihat dari dua pendekatan ;
1. Pendekatan
interaksionis; menekankan bahwa sumber perilaku (kejahatan) manusia tidak hanya
ditentukan oleh peranan kondisi-kondisi sosial, akan tetapi juga dipengaruhi
oleh peranan individu dalam menangani , menafsirkan dan berinteraksi dengan
kondisi-kondisi yang bersangkutan;
2. Pendekatan
konflik memfokuskan dalam mempertanyakan “kekuasaan” dalam mendefinisikan
kejahatan. Menurut Sue Titus Reid, bekerjanya hukum mencerminkan kepentingan
dari rulling class, hukum pidana
berusaha menciptkan perbuatan yang menyimpang dan digunakan oleh rulling class
untuk mempertahankan ketertiban.
Berdasarkan aliran konflik, Austin Turk mengatakan kalau
kejahatan itu bukanlah perilaku akan tetapi status. Sejalan dengan itu Howard S
Backer mengatakan bahwa kejahatan (deviance)
bukanlah kualitas tindakan yang dilakukan seseorang, akan tetapi akibat
diterapkannya peraturan dan sanksi terhadap seorang pelaku. Hofnagel
mengemukanan bahwa suatu
masyarakat tertentu akan menciptakan kejahatan melalui badan legislatif untuk
tujuan mengamankan struktur sosial tertentu.
Dalam
pendekatan konflik, mereka yang berada dalam status sosial yang tinggi dapat
mengontrol perilaku sehingga tidak disebut sebagai kejahatan dan dirinya tidak
disebut sebagai penjahat. Richard
R Quenney mengatakan jika penegakkan hukum bergantung pada kelompok dominan
didalam masyarakat yang secara politis terorganisasi. Kelompok ini tidak lain
adalah mereka yang berasal dari kelompok elit yang dengan kemampuanya mampu
untuk mempengaruhi perbuatan hukum dan penegakannya. Dengan begitu label
sebagai penjahat sukar untuk dilekatkan pada kelompok ini.
REFERENSI
[3] Koesriani
Siswosoebroto, Pendekatan Baru Dalam
Kriminologi, Penerbit Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009, hlm.
114
1 komentar
izin menyadur untuk tugas kuliah 🙏
BalasHapusSalam dari fakultas hukum UNSIKA karawang