ALIRAN KRITIS DALAM KRIMINOLOGI



ALIRAN KRITIS DALAM KRIMINOLOGI
Oleh :
Rudi Pradisetia Sudirdja, SH
(Mahasiswa Magister Hukum Pidana Universitas Indonesia)

A.      PENDAHULUAN


Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil definisinya secara etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu /pengetahuan tentang kejahatan.[1] Kriminologi sebagai bidang studi tentang kejahatan dapat ditelusuri melalui sejarah panjang dari buku-buku teks yang terbit di Eropa dan Amerika beberapa waktu yang lampau, khususnya yang berisi teori-teori tentang kejahatan. Sebagai studi ilmiah tentang kejahatan, kriminologi tumbuh dan berkembang sebagai rekasi dari “kekacauan” dan ketidak tertiban di Negara-negara Eropa abad 18 dan 19 dengan harapan bahawa ilmu pengetahuan baru dapat menemukan hukum alam yang memungkinkan masyarakat berkembang melalui program untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Akibatnya segala sesuatu yang dipandang sebagai dapat mengganggu terwujudnya kesejahteraan masyarakat seperti kejahatan, dipandang sebagai melanggar hukum alam.

Pemikiran kritis yang di kenal dalam berbagai disiplin ilmu seperti politik,ekonomi,sisiologi dan filsafat, muncul kepada beberapa dasarwasa terakhir ini. Aliran pemikira kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan apakah priklaku manusia itu bebas atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarah pada menpelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup[2].
Pandangan ini lahir ketika pandangan klasik tidak mampu lagi mengungkap kejahatan yang telah bergeser kearah yang lebih politis. Kriminologi (teori) kritis bertugas untuk menganalisis proses-proses begaimana stigma/cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu. Menurut Richard Queinney, kajian kriminologi kritis dalam mempelajari masalah kejahatan dan penjahat tidak lagi meletakkan pusat perhatiannya pada dan sekitar si penjahat, akan tetapi pada struktur sosial dengan taat hukumnya[3].

B.       PEMIKIRAN KEJAHATAN KRIMINOLIGI KRITIS
Krimimnologi kritis berpendapat bahwa fenomena kejahatan adalah sebagai konstruksi sosial, artinya apabila masyarakat mendefinisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan pada waktu tertentu memenuhi batasan  sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang berdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektif oleh ilmuan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan sebagai demikian oleh “masyarakat”. Oleh karenanya, kriminoligi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjukan sebagai criminal pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga perilaku dari agen-agen control social (aparat penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan tertentu sebagai kejahatan.
1.    Siapa Penjahat ?
Menurut kriminologi kritis, maka tingkat kejahatan dan cirri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Misalnya apabila sebagian besar pelaku kejahatan adalah orang-orang yang miskin, maka bukan kemiskinan yang merupakan sebab kejahatan, akan tetapi karena bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang-orang miskin lebih banyak ditunjukkan oleh undang-undang sebagai kejahatan dan dalam bekerjanya hukum maka undang-undang seperti inilah yang lebih banyak dijalankan ini berarti bahwa kita tidak dapat memahami kejahatan semata-mata dengan mempelajari  penjahat (“resmi”), akan tetapi harus dilihat dalam konteks keseluruhan proses kriminalisasi yakni proses yang mendefinisikan orang dan tindakan tertentu sebagai kejahatan.
2.      Penyebab Kejahatan
Kejahatan bisa terlahir karena adanya kekuasaan. Menurut Yasraf Amir Piliang[4]; Ketika kejahatan itu dilakukan oleh negara, maka kejahatan itu menjelma menjadi perfect crime, disebabkan hukum dan sistem hukum menjelma menjadi kejahatan itu sendiri’.  Hukum kini menjelma sebagai institusi semiotik, yang didalamnya beroperasi tanda-tanda palsu (pseudo sign), tanda dusta (false sign) dan tanda artifisial (artificial sign). Tanda tanda (pengadilan, tersangka, barang bukti, saksi sebagai elemen semiotik) kini digunakan untuk mengaburkan realitas, memalsukan kebenaran dan keadilan”.
Dalam menemukan sebab kejahatan menurut aliran kritis dapat digunakan dua pendekatan. Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan "interaksionis" dan "konflik"[5].
a.    Pendekatan interaksionis
Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal dimasyarakat tertentu dengan cara mempelajari "persepsi" makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang dimiliki agen kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat. Disamping itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan dalam mendefinisikan seseorang sebagai penjahat. Dengan demikian untuk dapat memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni yang dijadikan orang (orang) tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep "penyimpangan" (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai bagian dari "penyimpangan sosial" dalam arti bahwa tindakan yang bersangkuatan "berbeda" dari tindakan - tindakan yang dipandang sebagai normal atau "biasa" dimasyarakat, dan terhadap "tindakan menyimpang" tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang - orang tersebut sebagai "berbeda" dan "jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang menyimpang dari masyarakat tertentu tergantung pada masyarakat itu sendiri. Kadang -kadang kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan itu tidak begitu jelas, sehingga pada akhirnya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa dan hakim. (Misalnya pada kasus-kasus "perkosaan", khususnya tentang batas - batas "godaan" yang boleh dilakukan pria). Dalam arti luas, kejahatan (penyimpangan) seperti halnya kecantikan, ada di mata yang memandangnya. Dengan demikian penyimpangan dan dan reaksi sosial merupakan hubungan timbal balik yang hanya dapat dipahami dalam hubungan satu dengan yang lain. Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada "symbolic interactionism" yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa "sumber" perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi - kondisi sosial akan tetapi juga peranan individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi - kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya. Sebaliknya pendekatan konflik lebih memfokuskan studinya dalam mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan kejahatan.

b.   Pendekatan konflik
Menurut pendekatan “konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang dimilikinya dalam perbuatan dan bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam mendefinisikan kejahatan adalah sebagai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri. Secara umum kejahatan sebagai kebalikan dari kekuasaan; semakin besar kekuasaan seseorang atau sekelompok orang semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan kejahatan dan demikian juga sebaliknya. Orientasi sosio-psikologis teori ini pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari perilaku kolektif.
Pendekatan konflik beranggapan, bahwa hukum sebenarnya berisi nilai-nilai yang tidak mencerminkan keinginan seluruh masyarakat, tetapi hanya mencerminkan keinginan dari sekelompok warga masyarakat yang pada waktu itu memiliki kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Menurut kriminologi konflik, orang berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hukum Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik (menguntungkan) dalam mendefinisikan perbuatan - perbuatan yang bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka dapat mencegah dijadikannya tindakan - tindakan tersebut bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan: semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang - orang, semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi sosio - psikologis teori konflik terletak pada teori - teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari perilaku kolektif.
Pengaruh timbal balik yang berlangsung secara terus menerus didalam menjaga keseimbangan (stabilitas) yang memberi arti penting bagi ciri "perilaku kolektif yang berbeda dengan ide perilaku individual yang stimulan. Arus yang berubah ubah dari tindakan kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran posisi secara terus menerus, dalam arti kemungkinan mendapatkan status atau sebaliknya akan kehilangan. Akibatnya ada kebutuhan untuk menjaga dalam mempertahankan posisinya, disamping untuk selalu berusaha memperoleh kesempatan dalam memperbaiki status didalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang ada Dengan demikian, menurut aliran pemikiran ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial dimana kelangsungan sosial bergantung.

C.      PERKEMBANGAN DAN PENGANUT ALIRAN KRITIS[6]

1.    Keadaan di Amerika Serikat
Keadaan masyarakat yang gonjang di Amerika Serikat dalam tahun 1960-an, sesedah berakhirnya perang dingin juga telah mendorong kriminogi kritis yang menarik perhatian. Penganut teori radikal atau kritis diantaranya :
a.  Herman dan Julia Schwendinger
Tahun 1938 Thorsen Sellin telah mengemukakan pendapat bahwa ahli-ahli kriminologi harus dapat membebaskan diri dari pembatasan-pembatasan yang telah dibuat oleh hukum pidana, sebab apabila ahli kriminologi berpegang teguh dari definisi-definisi kriminologi tentang kejahatan yang telah diberikan oleh hukum pidana maka ini akan berakibat bahwa bidang dari kriminologi dibatasi oleh studi dari perilaku yang telah didefinisikan secara hukum pidana.
 Sutherland tentang white collar crime merumuskan pelanggaran-pelanggaran hukum perdata sebagai kejahatan, oleh karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih banyak mempunyai sifat luka-luka sosial daripada kerugian-kerugian pribadi. Biasanya isu-isu moral ini dinyatakan dalam bentuk istilah-istilah yang tidak dianalisa seperti luka sosial, perilaku anti sosial atau kerugian publik. Menurut suami istri Schwendinger dalam menjelaskan istilah-istilah tersebut atas dasar hak-hak individu yang ditentukan secara historis, yang lebih terkenal sebagai hak asasi manusia.
 Penting untuk mengetahui batas-batas politik dari doktrin etis tentang nilai-nilai intrinsik yang sama yang diterapkan pada manusia-manusia. Doktrin ini menyatakan pada umumnya bahwa manusia harus dipandang tidak sebagai cara-cara melainkan sebagai tujuan-tujuan sendiri.
Istilah imperialisme, rasisme, seksisme dan kemiskinan tercakup didalamnya tanda-tanda untuk teori-teori dari hubungan-hubungan sosial atau sistem-sistem sosial yang menyebabkan pencabutan secara sistematik dari hak-hak asasi sehingga dapat disebut kejahatan.
b.   Richard Quinney
Kriminologi dalam mempelajari masalah kejahatan dan penjahat tidak lagi meletakkan pusat perhatiannya pada dan sekitar si penjahat, akan tetapi pada struktur sosial dengan taat hukumnya. P. Moedikdo dengan pendapatnya adalah tidak jelas apa yang dimaksudkan oleh Quinney dengan penggantian hukum dengan adat. Apabila dia ingin menetang hipostase dengan pemutlakan hukum yang ada sebagai suatu yang berdiri sendiri dalam masyarakat, jadi hukum tidak hanya sebagai suatu aturan dari prosedur yang dibuat dan dipertahankan oleh manusia, maka Quinney dengan formulasinya tidak mengenai sasarannya. Apabila yang dipikirkan adalah apa yang didalam masyarakat primitive disebut sebagai hukum kebiasaan sebagai pengganti dari hukum, maka dia sama sekali tidak mengingat bahwa hukum yang modern dapat mempunyai fungsi perlindungan warga yang makin besar terhadap pemegang-pemegang kekuasaan yaitu apabila warga yang telah menjadi dewasa lebih berkuasa dalam masyarakat dan ada suatu rasa solidaritas otentik dengan mereka yang secara sosial diterbelakangkan.
c.    Tony Platt
Akar-akar dari radikalisme ini dapat ditemukan dalam perjuangan-perjuangan politik, gerakan hak-hak perdata, gerakan anti perang, gerakan mahasiswa, gerakan pembebasan dunia ketiga di dalam maupun di luar Amerika Serikat, dan gerakan-gerakan anti imperialisme dan di dalam tulisan-tulisan peserta-peserta dalam perjuangan-perjuangan ini.

2.      Keadaan di Inggris
Pendekatan radikal atau kritis di Inggris terjadi sewaktu diselenggarakannya suatu konferensi di York dalam tahun 1968. Konferensi ini diselenggarakan oleh beberapa sarjana kriminologi muda seperti Stanley Cohen, Ian Taylor, Palu Walton dan Jck Young disebut National Deviancy Conference (NDC). Menurut H. Bianchi pokok-pokok berikut merupakan dasar dari rasa kebersamaan NDC : pertama,  ini adalah suatu percobaan untuk sampai pada suatu kriminologi yang non pemerintah yang tidak lagi dengan sendirinya menerima isu-isu pemberantasan kejahatan dari penguasa. Kedua,  merupakan suatu protes terhadap cara dengan mana cara-cara komunikasi nasional dan internasional yang dilakukan oleh para sarjana kriminologi akhirnya berakhir, ketiga  merupakan suatu penolakan dari pragmatism dan empirisme khususnya dari kriminologi Inggris; keempat,  suatu penolakan dari kriminologi penelitian konvensional sepanjang kriminologi tersebut berlandaskan pada positivisme dan kebebasan nilai; kelima  suatu pembebasan dari kriminologi dari apa yang disebut penanganan multidisipliner dan membuat suatu pondasi baru baginya dalam ilmu-ilmu sosial; keenam,  membentuk pemahaman ideology baru dan pembentukan teori-teori berdasar mengenai gejala penyimpangan dan kontrol sosial.
Taylor, Walton dan Young menyimpulkan pendapat-pendapat mereka sebagai berikut : “Suatu kriminologi yang adequate untuk mengerti dari perkembangan-perkembangan ini dan yang akan mampu untuk mengembalikan politik di dalam diskusi tentang apa yang sebelumnya dianggap isu-isu teknis, harus dapat menangani masyarakat secara totalitas. Suatu teori yang normative, artinya harus menunjukkan kemungkinan-kemungkinan dari suatu resolusi terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental dan suatu resolusi sosial.
3.      Keadaan di Nederland
WH. Nagel mengatakan kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan dan bahwa pengetahuan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan politik adalah suatu pernyataan politik sendiri. Kriminalitas politik sebagai salah satu fenomena kriminal yang penting itu harus secara terbuka dimasukkan dalam program-program kongres-kongres kriminologi. Bahwa tidak mungkin lagi untuk memisahkan sama sekali politik dari kriminologi, kriminologi sekarang bukan lagi semata-mata suatu kriminologi yang etiologis, bukan kriminologi faktor-faktor dan bukan kriminologi yang berpusat pada pelaku.
Paling tidak ada dua pengaruh baru yang telah merubah kriminologi dalam waktu tiga puluh tahun. Mereka telah sangat memperluas obyek kriminologi. Dan dengan perluasan itu tidak hanya dimungkinkan untuk melibatkan politik dalam kriminologi, melainkan tidak mungkin untuk tidak melibatkannya. Pengaruh baru yang pertama  dari kriminologi dibentuk oleh pandangan viktimologis, pandangan ini adalah bahwa data mengenai pelaku yaitu kepribadiannya yaitu kondisi-kondisi dia yang psikologis, biologis dan sosial tidak banyak artinya tanpa kita tahu korban yang mana yang dihadapinya, dan dalam hubungan yang bagaimana. Tanpa adanya interaksi antara pelaku dan korban ternyata kriminologi adalah yang cacat. Pengaruh yang kedua menurut Nagel berasal dari sosiologi hukum. Dalam sosiologi hukum undang-undang dikaji berdasarkan fakta-fakta. Tidak mengakui adanya suatu lex naturalis, bahwa undang-undang hari ini dan akan datang berbeda dari undang-undang hari esok, dan kenyataannya bahwa undang-undang merupakan suatu institusi buatan manusia mengimplisitkan pertanggungjawaban dan perhatian ilmiah kita kepada pembentuk-pembentuk undang-undang dan pembentuk-pembentuk keputusan hukum.

D.      KESIMPULAN

Tindakan menyimpang merupakan hasil dari proses politik, dimana undang-undang merumuskan larangan-larangan atau perilaku yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kejahatan dalam teori ini ditentukan oleh bagaimana undang-undang dirumuskan dan dijalankan. Menurut Pendekatan ini kemiskinan bukanlah “sebab” kejahatan, akan tetapi karena bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang-orang miskin lebih banyak ditunjuk oleh undang-undang.
Dalam menilai sebab kejahatan dalam aliran kritis dapat dilihat dari dua pendekatan ;
1.      Pendekatan interaksionis; menekankan bahwa sumber perilaku (kejahatan) manusia tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi-kondisi sosial, akan tetapi juga dipengaruhi oleh peranan individu dalam menangani , menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi-kondisi yang bersangkutan;
2.      Pendekatan konflik memfokuskan dalam mempertanyakan “kekuasaan” dalam mendefinisikan kejahatan. Menurut Sue Titus Reid, bekerjanya hukum mencerminkan kepentingan dari rulling class, hukum pidana berusaha menciptkan perbuatan yang menyimpang dan digunakan oleh rulling class untuk mempertahankan ketertiban.
Berdasarkan aliran konflik, Austin Turk mengatakan kalau kejahatan itu bukanlah perilaku akan tetapi status. Sejalan dengan itu Howard S Backer mengatakan bahwa kejahatan (deviance) bukanlah kualitas tindakan yang dilakukan seseorang, akan tetapi akibat diterapkannya peraturan dan sanksi terhadap seorang pelaku. Hofnagel mengemukanan bahwa suatu masyarakat tertentu akan menciptakan kejahatan melalui badan legislatif untuk tujuan mengamankan struktur sosial tertentu.
Dalam pendekatan konflik, mereka yang berada dalam status sosial yang tinggi dapat mengontrol perilaku sehingga tidak disebut sebagai kejahatan dan dirinya tidak disebut sebagai penjahat. Richard R Quenney mengatakan jika penegakkan hukum bergantung pada kelompok dominan didalam masyarakat yang secara politis terorganisasi. Kelompok ini tidak lain adalah mereka yang berasal dari kelompok elit yang dengan kemampuanya mampu untuk mempengaruhi perbuatan hukum dan penegakannya. Dengan begitu label sebagai penjahat sukar untuk dilekatkan pada kelompok ini.

REFERENSI
    I[1] Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 9.
[2] I S Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm. 10
[3] Koesriani Siswosoebroto, Pendekatan Baru Dalam Kriminologi, Penerbit Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009, hlm. 114
[4] Yesmil Anwar, Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 212
[5] Koesriani Siswosoebroto, op.cit,  hlm 103

You Might Also Like

1 komentar

  1. izin menyadur untuk tugas kuliah 🙏
    Salam dari fakultas hukum UNSIKA karawang

    BalasHapus