Selasa, 04 Januari 2011

SANKSI PIDANA BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA MILITER

SANKSI PIDANA BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA MILITER

Makalah Diajukan untuk Memenuhi Tugas, Mata Kuliah Hukum Pidana Militer,
 Semester Ganjil, Tahun Akademik 2010 / 2011
Dosen Pembimbing :

-    Prof. Dr.H. Pontang Moerad B.M, S.H.
-          Yusef Mulyana  S.H., M.H.

Oleh:  
Rudi Pradisetia Sudirdja (091000299)
                                                                           Kelas : E


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN
JALAN LENGKONG BESAR NO 68 BANDUNG
Telp. (022) 4205945, 4262226
2010



Kata Pengantar


Asalamualaikum Wr.wb
            Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang tiada hentinya memberikan petunjuk, rahmat dan karunia-Nya. Tak lupa Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Dengan segala rasa syukur yang tinggi penyusun berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan dosen mata kuliah Hukum Pidana Militer Fakultas Hukum Universitas Pasundan yaitu Membuat makalah “Sanksi Pidana Bagi Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer
Adapun tujuan dari penulisan makalah  ini adalah untuk memenuhi tugas akhir mata Hukum Pidana Militer juga sebagai penambah wawasan mengenai sanksi-sanksi pidana bagi anggota militer.
             Penyusun menyusun makalah ini dengan baik, baik dari isi maupun maupun dari kualitas. Namun penyusun menerima saran dan kritikan konstruktif dari pembaca dengan senang hati.
            Akhir kata, semoga makalah  ini bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca semua pada umumnya dan juga agar mengetahui sanksi –sanksi pidana bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana.


Wabillihi taufik walhidayah wassalammu’alaikum Wr.Wb                                                                                                                                                               
                                                                                  
                                                                                                                       Bandung, Desember 2010
                                                                                                                                                                                                   


DAFTAR ISI

                                                                                                                     Halaman
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I        PENDAHULUAN
                         A. Latar Belakang Masalah.............................................................1
                         B. Identifikasi Masalah...................................................................2
                         C. Tujuan.........................................................................................2
                         D. Kerangka Pemikiran...................................................................3
                         E. Metodologi..................................................................................5
                         
BAB II      KITAB UDANG UNDANG HUKUM PIDANA MILITER
A.    Buku Pertama.............................................................................6
B.     Buku Kedua..............................................................................15

 BAB IV    PEMBAHASAN

A.    Sanksi Pidana Pokok dalam KUHPM......................................21
B.     Sanksi Pidana Tambahan dalam KUHPM...............................34   


BAB VI     KESIMPULAN DAN SARAN
                        A. Kesimpulan................................................................................37
                        B. Saran..........................................................................................38

       DAFTAR PUSTAKA......................................................................................v


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang berlaku di suatu negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana itu sendiri, dalam hal apa dan dengan bagaimana seseorang itu dinyatakan melakukan tindak pidana (pertanggung jawaban pidana) dan pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut.
Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana yang dimasksudkan tersebut terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, yakni lingkup tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum merupakan perbuatan piadana yang diatur dalam KUHP. Sedangkan tindak pidana khusus adalah tindak pidana khusus merupakan suatu tindak pidana yang diatur diluar KUHP dan pengaturannya menyimpang dari KUHP.
Tindak pidana khusus tersebut terdiri dari bermacam-macam perbuatan, yakni seperti tindak pidana korupsi (tipikor), tindak pidana narkotika, psikotopika, pencucian uang, dan berbagai macam tindak pidana lainnya yang diatur diluar KUHP. Tindak pidana militer merupakan salah satu tindak pidana yang diluar KUHP, merupakan tindak pidana khusus dikarenakan militer itu memegang senjata dan dapat mempergunakan senjata dan serta mempunyai tugas untuk pembelaan dan pertahanan negara.
Maka diperlukan adanya suatu peraturan khusus dalam rangka pengawasan kinerja militer. Hukum pidana militer dikatakan sebagai hukum pidana khusus karena dalam hukum pidana militer tersebut terdapat penyimpangan dari ketentuan pidana umum seperti sanksinya ataupun perbuatan (tindak) pidana itu sendiri. Meskipun diberlakukan secara khusus namun para anggota militer tersebut tetap tunduk pada ketentuan umum.
Sanksi hukuman bagi anggota militer lebih berat dibandingkan masyarakat biasa, selain tunduk pada ketentuan umum di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, anggota militerpun tunduk pada suatu ketentuan khusus yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer.

B.   Identifikasi Masalah
 Apa saja sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam Kitam Undang Undang Hukum Pidana Militer serta perbedaan saksi yang diatur dalam KUHP dan KUHPM
C.   Tujuan   
Untuk mengetahui sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam Kitam Undang Undang Hukum Pidana Militer serta perbedaan saksi yang diatur dalam KUHP dan KUHPM


D.   Kerangka Pemikiran
            Militer berasal dari kata Miles dalam bahasa Yunani berarti orang yang telah dipilih, dilatih sedemikian rupa kemudian dipersenjatai dan disiapkan secara khusus oleh negara untuk melaksanakan tugas pertempuran/perang. Yang dimaksud dengan militer dalam pasal 46 UU NO 31/1997 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer adalah mereka yangberikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut atau semua sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para militer wajib sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas demikian juga jika mereka berada diluar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam pasal-pasal 97,98 dan 139 Kitab Undang-Undang ini.
Hukum militer dalam istilah Belanda disebut Millitair Recht. Secara umum pengertian Hukum Militer didefinisikan oleh Anang Djajaprawira menyatakan bahwa hukum militer itu adalah meliputi selengkapnya yang menyangkut kelakuan dan administrasi militer. Sehingga dengan demikian pengertian hukum militer itu bukan hanya yang menyangkut tentang hukum pidana militer, hukum acara militer dan hukum disiplin militer saja melainkan juga meliputi :
Hukum Internasional termasuk didalamnya hukum pidana internasional, Hukum Humaniter yang mengatur tentang perang,Genewa Convention Yang mengatur tentang korban perang.
  Peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah militer Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yang mengatur seorang militer tentang tindakan-tindakan mana yang merupakan pelanggaran atau kejahatan atau merupakan larangan atau keharusan dan diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Militer bukanlah suatu hukum yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang menurut ketentuan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit TNI
Dalam penerapannya Hukum Pidana Militer dipisahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai hukum material dan hukum acara pidana militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai hukum formal. Terhadap setiap perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum dengan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang dipersamakan dengan Prajurit TNI, maka berdasarkan ketentuan Hukum Pidana Militer harus diproses melalui Pengadilan Militer.

E.   Metodologi
Untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan, penulis menggunakan beberapa metode antara lain :
1.      Studi Pustaka
Pada metode ini, penulis membaca buku-buku literature dan surat kabar yang berhubungan erat dengan penyusunan makalah ini.
Seperti buku tentang hukum pidana militer  dan membaca surat kabar yang isinya terdapat  kaitanya dengan hukum pidana dan hukum pidana militer , seperti Galamedia, Pikiran Rakyat. Selain itu penulis juga memanfaatkan perkembangan teknologi, dengan browsing internet untuk mencari artikel yang berkaitan dengan hukum pidana dan hukum pidana militer.
2.      Pemikiran
Penulis mencoba untuk belajar mengungkapkan hasil pemikiran penulis
pribadi dan kemudian dituangkan pada makalah  ini.

  
BAB II
KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA MILITER
A.     BUKU PERTAMA
BAB PENDAHULUAN
PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM
Pasal 1
(Diubah dengan UU No 9 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 2
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Terhadap tindak pidana yang tidak atercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan olehorang-orang yang tunduk pada kekuasan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 3
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Ketentuan-ketentusan mengenai tindakan-tindakan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dilakukan di atas kapal (schip) Indonesia atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu (vaartuig) Angkatan Perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali jika isi ketentuan-ketentuan tersebut meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan tersebut termasuk dalam suatu ketentuan pidana yang lebih berat.
BAB I
BATAS-BATAS BERLAKUNYA KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 4
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1957) Ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, selain darip[ada yang dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, diterapkan kepada militer:
Ke-1,   Yang sedang dalam hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan suatu tindak pidana di tempat itu;
Ke-2,   Yang sedang di luar hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam kitabn undang-undang ini, atau suatu kejahatan jabatan yang berhubungan dengan pekerjaannya untuk Angkatan Perang, suatu pelanggaran jabatan sedemikian itu, atau suatu tindak pidana dalamn keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 5
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang, yang dalam keadaan perang, di luar Indonesia melakukan suatu tindak pidana, yang dalam keadaan-keadaan tersebut termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan mliter.
BAB II
PIDANA
Pasal 6
Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini adalah:
a. Pidana-pidana utama:
    ke-1, Pidana mati;
    ke-2, Pidana penjara;
    ke-3, Pidana kurungan;
    ke-4, Pidana tutupan (UU No 20 Tahun 1946).
b. Pidana-pidana tambahan:
    ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau taznpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
    ke-2, Penurunan pangkat;
    ke-3, Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 7
(1) Untuk pidana-pidana utama dan pidana tambahan yang disebutkan pada nomor 3 dalam pasal tersebut di atas, berlaku ketentuan-ketentuan pidana yang senama yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sejauh mengenai pidana utama itu tidak ditetapkan penyimpangan-penyimpangan dalam iitab undang-undang ini.
(2) Penyimpangan-penyimpangan ini berlaku juga bagi pidana-pidana utama yang disebutkan dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana yang tidak diatur dalam kitab undang-undang ini.
Pasal 8
(1) (Disempurnakan dengan UU No 2 Pnps 1964) Pidana mati yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer, dijalankan dengan ditembak mati oleh sejumlah militer yang cukup.
(2) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947 dan selanjutnya lihat UU No 2 Pnps 1964) Peraturan- peraturan selanjutnya tentang cara menjalankan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 9
Penguburan jenasah terpidana diselenggarakan dengan sederhana tanpa upacara militer, atau jika menjalankan pidana mati itu dilaksanakan di perahu laut dan jauh dari pantai, jenasah terpidana diterjunkan ke laut.
Pasal 10
Pidana penjara sementara atau pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer.
Pasal 11
(1) Militer yang menjalani salah satu pidana tersebut pada pasal terdahulu, melaksanakan sesuatu pekerjaan yang ditugaskan sesuai dengan peraturan pelaksanaan pada Pasal 12.
(2) Ketentuan-ketentuan pada Pasal 20, 21, 23 dan 24 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak diterapkan kepada terpidana.
Pasal 12
(1) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Penunjukan rumah-rumah pemasyarakatan militer yang dimaksud pada Pasal 10, demikian pula tentang pengaturan dan penguasaan bangunan-bangunan itu, tentang pembagian para terpidana dalam kelas-kelas, tentang pekerjaan, tentang upah untuk pekerjaan itu, tentang pendidikan (pemasyarakatan), tentang ibadat, tentang tata tertib, tentang tempat tidur, tentang makanan dan tentangf pakaian diatur dengan perundang-undangan.
(2) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Peraturan-peraturan rumah tangga untuk bangunan-bangunan tersebut, jika perlu ditetapkan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Pasal 13
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti oleh para terpidana, dalam keadaan-keadaan dan dengan cara yang ditentukan dengan undang-undang, dapat dijalankan di suatu tempat lain sebagai pengganti dari bangunan yang seharusnya disediakan bagi penjalanan pidana tersebut.
Pasal 14
Apabila seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi tiga bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut dijalani sebagai pidana kurungan.
Pasal 15
Hak yang dimaksudkan pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hanya digunakan apabila tidak akan bertentangan dengan kepentingan militer.
Pasal 16
Dalam perintah kepada terpidana yang dimaksud pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jika terpidana adalah militer, harus selalu ikut ditetapkan sebagai persyaratan umum, bahwa sebelum habis masa percobaannya ia tidak akan melakukan pelanggaran disiplin militer yang tercantum pada nomor ke-1 Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer yang bersifat berat, dan demikian pula mengenai pelanggaran disiplin militer yang tercantum pada nomor ke-2 sampai denganb ke6 pasal tersebut.
Pasal 17
Jika terpidana adalah militer, maka usul yang dimaksudkan pada ayat pertama Pasal 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dibuat berdasarkan keputusan dari Panglima/Perwira komandan langsungnya, keputusan mana tidak boleh diambil sebelum meminta pendapat dari pejabat yang berhak mengajukan usul tersebut.
Pasal 18
Apabila perintah diberikan untuk menjalani pidana, sesuai dengan Pasal 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kepada terpidana yang pada saat itu bukan seprang militer, atau tidak sedang dalam dinas yang sebenarnya, hakim dapat menentukan bahwa pidana-pidana tambahan yang dimaksudkan dalam Pasal 6.b. nomor ke-1 dan ke-2 tidak akan dijalankan.
Pasal 19
(Diubah dengan UU No 38 Tahun 1947) Apabila perintah yang dimaksudkan pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberikan oleh suatu Mahkamah Militer Luar Biasa/khusus yang telah ditiadakan/dihentikan, maka yang dianggap sebagai pejabat yang dimaksud pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah Jaksa/ Oditur Militer Agung, dan hak-hak yang dirumuskan pada Pasal-pasal 14.c. dan 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilaksanakan oleh Mahkamah Militer Agung.
Pasal 20
Apabila diberikan suatu tugas untuk memberi bantuan atau pertolongan sesuai dengan ayat kedua Pasal 14.d. atau ayat keempat Pasal 15.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka tindakan-tindakan yang berhubungan dengan itu, harus dengan persetujuan Panglima/Perwira komandan langsung, jika terpidana bersyarat atau yang dibebaskan bersyarat berada dalam dinas yang sebenarnya.
Pasal 21
BAB III
PENIADAAN, PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA
Pasal 32
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Tidak dipidana, barangsiapa dalam waktu perang, melakukan suatu tindakan, dalam batas-batas kewenangannya dan diperbolehkan oleh peraturan-peraturan dalam hukum perang, atau yang pemidanaannya akan bertentangan dengan suatu perjanjian yang berlaku antara Indonesia dengan negara lawan Indonesia berperang atau dengan suatu peraturan yang dutetapkan sebagai kelanjutan dari perjanjian tersebut.
Pasal 33

BAB IV
PERBARENGAN TINDAK PIDANA
Pasal 39
Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, kecuali pidana-pidana yang ditentukan dalam Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tidak boleh dijatuhkan pidana lainnyselain daripada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.
BAB V
TINDAK PIDANA YANG HANYA DAPAT DITUNTUT KARENA PENGADUAN
Pasal 40
Apabila salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal-pasal 287, 293 dan 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilakukan dalam waktu perang oleh orang yang tunduk pada peradilan militer, maka penuntutannya dapat dilakukan karena jabatan.
BAB VI
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA
Pasal 41

BAB VII
PENGERTIAN BEBERAPA ISTILAH DALAM KITAB UNDANG-UNDANG INI, PERLUASAN PENERAPAN BEBERA[A KETENTUAN
Pasal 45
B.     BUKU KEDUA
KEJAHATAN-KEJAHATAN
BAB I
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
Pasal 64
BAB II
KEJAHATAN DALAM MELAKSANAKAN KEWAJIBAN PERANG, TANPA BERMAKSUD UNTUK MEMBERI BANTUAN
KEPADA MUSUH ATAU MERUGIKAN NEGARA UNTUK KEPENTINGAN MUSUH
Pasal 73
Pasal 81
Militer, yang dengan sengaja mengambil suatu barang yang ditentukan tidak termasuk rampasan perang, tanpa maksud untuk dengan melawan hukum memiliki barang itu, diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun.

BAB III
KEJAHATAN YANG MERUPAKAN SUATU CARA BAGI SESEORANG MILITER UNTUK
MENARIK DIRI DARI PELAKSANAAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DINAS
Pasal 85
Militer, yang karena salahnya menyebabkan ketidakhadirannya tanpa izin diancam:
Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sembilan bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama dari tiga puluh hari;
Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai, dfisebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian dari suatu perjalanan ke suatu tempat yang terletak di luar pulau di mana dia sedang berada yang diketahuinya atau patut harus menduganya ada perintah untuk itu;
Ketiga, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun empat bulan apabila ketidakhadiran itu, dalam waktu poerang tidak lebih lama dari empat hari;
Ke-4, Dengan pidana penjara maksimum dua tahun, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu perang, disebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian dari usaha perjalanan yang diperintahkan kepadanya sebagaimana diuraikan pada nomor ke-2, atau tergagalkannya suatu perjumpaan dengan musuh.
Pasal 86
Militer, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin diancam:
Ke-1,   Dengan pidana penjara maksimum 1 tahun 4 bulan, apabila ketidakhadiran aitu dalam waktu damai minimal 1 hari dan tidak lebih lama dari 30 hari.
Ke-2,   Dengan pidana penjara maksimum 2 tahun 8 bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu perang tidak lebih lama dari 4 hari.
Pasal 87
(1) Diancam karena desersi, militer:
Ke-1,   Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu;
Ke-2,   Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari;
Ke-3,   Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada pasal 85 ke-2.
(2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
(3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan.
BAB IV
KEJAHATAN TERHADAP PENGABDIAN
Pasal 97
(1) Militer, yang dengan sengaja, menghina atau mengancam dengan suatu perbuatan jahat kepada seorang atasan, baik di tempat umum secara lisan atau dengan tulisan atau lukisan, atau di hadapannya secara lisan atau dengan isyarat atau perbuatan, atau dengan surat atau lukisan yang dikirimkan atau yang diterimakan, maupun memaki-maki dia atau menistanya atau dihadapannya mengejeknya, diancam dengan pidana penjara maksimum satu tahun.
(2) Apabila tindakan itu dalam dinas, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun.
Pasal 98

BAB V
KEJAHATAN TENTANG PELBAGAI KEHARUSAN DINAS
Pasal 118
BAB VI
PENCURIAN DAN PENADAHAN
Pasal 140
Diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun, barangsiapa yang melakukan pencurian dan dalam tindakan itu telah menyalahgunakan (kesempatan) tempat kediamannya atau perumahannya yang diperolehnya berdasarkan kekuasaan umum.
Pasal 141
BAB VII
PERUSAKAN, PEMBINASAAN ATAU PENGHILANGAN BARANG-BARANG KEPERLUAN ANGKATAN PERANG
Pasal 147
Barangsiapa, yang dengan melawan hukum dan dengan sengaja membunuh, membinasakan, membuat tidak terpakai ubntuk dinas atau menghilangkan binatang keperluan Angkatan Perang, diancam:
ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sepunuh tahun, apabila tindakan itu dilakukannya, sementara ia termasuk suatu Angkatan Perang yang disiapsiagakan untuk perang.
ke-2, dengan pidana penjara maksumum lima tahun dalam hal lain-lainnya.
Pasal 148
Barangsiapa, yang dengan melawan hukum dan dengan sengaja merusak, membinasakan, membuat tidak terpakai atau menghilangkan suatu baang keperluan perang, ataupun yang dengan sengaja dan semaunya menanggalkan dari diri sendiri suatu senjata, munisi, perlengkapan perang atau bahan makanan yang diberikan oleh negara kepadanya, diancam:
ke-1, dengan pidana penjara maksimum sepuluh tahun, apabila tindakan itu dilakukannya sementara ia termasuk pada suatu Angkatanm Perang yang disiapsiakan untuk perang;
ke-2, dengan pidana penjara maksimum lima tahun, di luar hal-hal yang disebutkan pada sub ke-1 pasal ini dan ayat pertama dari Pasal 72.
KETENTUAN PENUTUP UMUM
Pasal 150
Kitab undang-undang ini dapat disebut sebagai "Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer".


BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaan Pidana Pokok
1.      Pelaksanaan Pidana Mati
Pasal 255 HAPMIL menentukan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dimuka umum.
Di banyak negara hukuman pidana telah dihapus dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dedangkan di Indonesia masih tetap berlaku. Negeri Belanda yang mewariskan hukum Pidana kepada Indonesia telah menghapuskan hukuman mati itu di Indonesia oleh pemerintah kolonial belanda tidak dihapus, karena Indonesia merupakan dareah jajahan, dikhawatirkan kepentingan penjajah itu akan terganggu, oleh karena itu bagi si pengganggu itu perlu diancam hukuman yang berat. Dalam rangka pembaharuam hukum di negara kita, sekarang ini perlu dipikirkan apakah hukuman itu masih perlu dipertahankan.
Sekalipun pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim sudah mempunyai mempunyai kekuatan kekuatan hukum yang tetap, artinya terpidana tidak naik banding, tidak mohon grasi, bahkan menerima pidana yang dijatuhkan, namun pidana mati itu belum boleh dilaksanakan sebelum mendapat keputusan dari Presiden. Hal ini diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang  Grasi No.3 tahun 1950 LN. No.40 Tahun 1950.
            Apabila keputusan Presiden tidak mengubah pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang No.2 PNPS 1964, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati. Cara-cara pelaksanaan pidana mati sipil yustilabel peradilan umum diatur dalam pasal 2 s/d 16 Undang-undang No. 2 PNPS 1964 dam umtuk anggota militer yustilabel peradilan militer diatur dalam Pasal 17.
Beberapa ketentuan tentang cara pelaksanaan pidana mati untuk yustilabel peradilan militer :
1.      Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh MENHANKAM/PANGAB di daerah pengadilan yang menjatuhkan putusan tersebut, kecuali ditentukan lain ;
2.      Panglima daerah bertangung jawab mengenai pelaksanaan setelah terdengar saran dari Oditur Militer yang bersangkutan dan menanyakan hari/tanggal pelaksanaan tersebut ;
3.      Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu militer ;
4.      Apabila terpidana sedang hamil maka harus ditunda sampai anak yang dikandungnya lahir ;
5.      Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Oditur Militer yang bersangkutan harus memberitahukan tentang pelaksanaan tersebut kepada terpidana dan apabila terpidana mengemukakan sesuatu maka pesan itu harus diterima oleh Oditur yang bersangkutan ;
6.      Oditur militer yang bersangkutan dan Panglima daerah atau yang ditunjuk harus menghadiri pelaksanaan tersebut, sedangkan penasehat Hukum terpidana atas permintaan sendiri dapat menghadirinya ;
7.      Pelaksanaan hukuman mati tidak boleh diadakan secara demonstratif atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan dimuka umum ;
8.      Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga, sahabat-sahabat terpidana dan harus dicegah pelaksanaan penguburan yang demonstratif ;
9.      Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut, Oditur harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut ;

2.      Pelaksanaan Pidana Penjara
            Setelah menerima kutipan Surat Keputusan yang telah menjadi tetap dari Panitera Pengadilan, Oditur melaporkan hal itu kepada PAPERA/ANKUM dengan melampirkan ikhtisar Putusan. Selanjutnya bagi seorang militer, baik ia dijatuhi hukuman pada Pengadilan Militer maupun Pengadilan Umum dalam rangka koneksitas, maka tempat menjalani hukuman itu dejalankan sesuai dengan yang termaksud dalam pasal 256 HAPMIL ;
            Bagi seorang militer baik ia dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Militer maupun dijatuhi oleh Pengadilan Umum selama tidak dipecat dari dinas militer, menjalani pidana tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
            Pemisahan tempat menjalani pidana bagi seorang terpidana yang berstatus militer (termasuk yang dipersamakan) dari terpidana umum mutlak diperlukan karena sifat pelaksanaan antara Lembaga Permasyarakatan Militer dengan Lembaga Pemasyarakatan Umum berbeda. Apabila Permasyarakatan Umum bagi terpidana sipil ditujukan agar ia bias kembali bergaul dalam masyarakat sekitanya, maka system pembinaannya harus berintikan aturan-aturan pergaulan dalam masyarakat ;
            Sedangkan system Lembaga Pemasyarakatan Militer, system pembinaannya dimana terpidana selesai menjalani hukuman akan dikembalikan ke kesatuannya. Oleh karena itu pembinaannya diusahakan tetap mengacu pada disiplin militer, patuh dan taat pada atasan dan menghilangkan rasa rendah diri, sehingga setelah keluar dari lembaga permasyarakatan, mantan terpidana tidak merasa canggung atau kaku ;
            Penjatuhan pidana bagi seorang militer, pad adasarnya lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan daripada balas dendam, selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas militer setelah menajlani pidan. Seorang militer (mantan terpidana) yang akan kembali aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan berguna, baik karena kesadaran sendiri maupun sebagai hasil ‘tindakan pendidikan’ yang ia terima selama dalam lembaga pemasyarakatan militer (INREHAB).
Seandainya tidak demikian halnya, maka penjatuhan pidana itu tidak mempunyai arti dalam rangka pengembaliannya dalam masyarakat militer. Hal seperti itu perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menentukan perlu atau tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana disamping dasar-dasar lainnya yang sudah ditentukan. Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman tambahan, dipecat dari dinas militer, sebaiknya pemecatan itu diikuti dengan ‘dicabutnya hak untuk memasuki daerah dinas militer’, ;
            Bagi prajurit yang seadng menjalani penahanan, pidana penjara, kurungan dan tutupan berlaku ketentuan tata tertib tempat menjalani penahanan atau tempat menjalani pidana, pembinaan disiplinnya diserahkan ketempat menjalani penahanan atau tempat menjalani pidana, pembinaan disiplinnya diserahkan sementara dari atasan atau ANKUM kepada lembaga pemasyarakatan tempat menjalani pidana sampai masa penahana atau masa pidananya selesai dijalani ;
            Dapat diperkirakan bahwa walaupun telah dikenakan ‘pendidikan keras’ yaitu menjalani pidana perampasan kemerdekaan kepada seorang milite (terpidana), ia tidak akan berubah kelakuannya sehingga tidak pantas kembali ke masyarakat militer, lebih baik dikeluarlkan saja militer yang seperti itu sebagaimana dimaksaud dalam Undang-undang No.2 tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pasal 38 ;
                        Bagi bintara dan Tamtama dilaksanakan berdasarkan usul atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang mempunyai wewnang penuh setelah mendengar saran staf secara berjenjang ;
            Adapun yang dimaksud dalam pasal 256 ayat (2) yaitu dalam hal terpidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu, hal ini dimaksudkan agar pidana itu dijalani secara berurutan atau berturut-turut secara berkesinambungan dengan tidak terputus keseluruhan hukuman ;
            Penjatuhan pidana sebagai mana dimaksud dalam pasak 256 ayat (2) tersebut dapat beberapa macam :
1.      Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi pula dengan penjatuhan hukuman kurungan
2.      Dijatuhi hukuman kurungan kemudian dijatuhi pula hukuman penjara
3.      Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi pula hukuman penjara yang lain ;
4.      Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi hukuman tambahan, misalkan hukuman denda ;
3.      Pelaksanaan Pidana Kurungan
            Di dalam pasal 14 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer menyatakan sebagai berikut :
“Apabila seorang dinyatakan bersalah karena melakukan sesuatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan kepadanya pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi 3 bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut dijalankan sebagai pidana kurungan.“
            Biasanya perkara sebelum diserahkan/dilimpahkan ke pengadilan militer oleh Oditur dipelajarai terlebih dahulu. Kalau seandainya perkara itu sedemikian ringannya, perkara itu diselesaikan secara disiplin, dimana Oditur menyarankan kepada Papera agar perkara itu diselesaikan secara disiplin.
            Namun demikian apabila suatu perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan Militer, maka Oditur dapat menuntut agar terdakwa menjatuhi hukuman 3 bulan penjara dan dijalankan seperti pidana kurungan. Kalaupun Oditur tidak menuntut demikian maka hakim dapat saja menjatuhkan putusannya dengan hukuman penjara kurungan dalam peraturan kepenjaraan dibeikan pekerjaan didalam tembok Rumah Permasyarakatan dan pekerjaan yang diberikan lebih ringan dibandingkan dengan mereka yang dijatuhkan hukuman penjara;
4.      Pelaksanaan Pidana Tutupan
            Hukuman tutupan diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1946 yang hanya memuat 6 pasal ;
Didalam praktek hukuman tertutup baru satu kali dijatuhkan yaitu dalam perkara 3 Juli 1946 yang dikutip dari buku 30 tahun Perkembangan Peradilan Militer yaitu peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta yang diadili oleh Mahkamah Tentara Agung dimana pelakunya sebanyak 17 orang terdakwa yang terdiri dari seorang anggota tentara berpangkat Jenderal Mayor dan 16 orang sipil, dengan dakwaan melakukan atau tersangkut dalam penyertaan tindak pidana ;
            Perbuatan tersebut dilakukan oleh para terdakwa karena merasa tidak puas terhadap kebijakan politik yang waktu itu dijalankan oleh Kabinet Syahrir, maka Jenderal Mayor S, kepala Divisi III Yogyakarta bersama dengan Mr. M.Y. dan kawan-kawannya pada tanggal 3 Juli 1946  telah mendatangi istana Presiden RI dengan maksud untuk memaksakan suatu konsep susuna cabinet baru serta penggantian pemerintahan yang bila ini dilaksanakan, maka susunan pemerintahan RI akan mempunyai bentuk yang berlainan dengan yang ditetapkan dalam UUD 1945.
            Seusai dengan konsep-konsep mereka tersebut antara lain dikehendaki agar segala kekuasaan tentang ketentaraan diserahkan kepada Panglima Besar dan kekuasaan yang selebihnya diserahkan kepada suatu Dewan Pimpinan Politik. Tindakan tersebut diatas sebelumnya oleh mereka didahului dengan tindakan-tindakan :
1.      Penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Pertahanan Amir Syarifudin ;
2.      Pelepasan 14 orang tahanan politik dari penajra Wirogunan ;
3.      Berusaha mengorganisir berkumpulnya tokoh-tokoh politik dan lascar-laskar di alun-alun pada tanggal 3 Juli 1946 ;
Usaha mereka untuk mengadakan perubahan-perubahan di bidang pemerintahan dengan cara-cara tersebut di atas gagal karena Presiden ternyata tidak mau memenuhi kehendak mereka, sebaliknya mereka ditangkap dan kemudian diajukan ke persidangan Mahkamah tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948 ;
      Atas putusan hukuman yang dijatuhkan, pemerintah memberikan pengampunan (Grasi) dengan pertimbangan bahwa mereka itu melakukan perbuatannya Karen didorong oleh cita-cita yang luhur bagi kepentingan Nusa dan Bangsa ;
5.      Pelaksanaan Pidana Bersyarat
·         Pasal 15 KUHPM
Hak yang dimaksud pada Pasal 14 a KUHP, hanya digunakan apabila tidak akan bertentangan dengan kepentingan militer :
·         Pasal 16 KUHPM
·         Pasal 17 KUHPM
·         Pasal 18 KUHPM
·         Pasal 19 KUHPM
·         Pasal 20 KUHPM
·         Pasal 21 KHPM
·         Pasal 22 KUHPM
Pasal-pasal sebagaimana diutarakan di atas merupakan landasan hukum bagi pidana bersyarat. Lembaga pidana bersyarat diatur dalam KUHP (Pasal a s/d f) dan dalam ordonansi pelaksanaan pidana bersyarat (stbl 1926 No.251 yo 486, 487 berlaku mulai tanggal 1 Januari 1927). Dalam Pasal 14a ayat 4 KUHP ditentukan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan jika hakim berkeyakinan akan adanya pengawasan yang memadai mengenai pelaksanaannya. Mengenai hal ini dibedakan dalam :
1.      Pengawasan umum, bersifat imperatif;
2.      Pengawasan khusus, bersifat fakultatif (sebagai pemberian bantuan).
Dari ketentuan-ketentuan itu dapat disimpulkan mengenai pengertian tentang pidana bersyarat, yaitu :
1.      Terdakwa yang dijatuhi hukuman dan menerimanya dinyatakan sebagai terhukum;
2.      Pelaksanaan hukuman pokok ditunda;
3.      Penundaan digantungkan pada suatu syarat tertentu, yaitu selama masa percobaan terhukum tidak boleh melakukan suatu pelanggaran dan berkewajiban memenuhi yang telah ditentukan dalam perjanjian khusus.

a.      Maksud dan Tujuan Lembaga Pidana Bersyarat
Lembaga hukum itu dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada terhukum dalam jangka waktu tertentu memperbaiki diri diluar tembok penjara, jelasnya di dalam masyarakat, dengan bantuan seorang petugas dari lembaga reklasering.

b.      Lembaga Pengawasan
Pengaturannya terdapat dalam Pasal 14d KUHP dan Stbl No.487 Tahun 1926. Dibedakan adanya pengawasan umum dan pengawasan khusus. Pengawasan umum bersifat imperatif atau suatu keharusan dan dilakukan oleh penjabat yang mempunyai tugas untuk melaksanakan putusan itu dan hal ini ada hubungannya dengan ketentuan mengenai persyaratan umum.
Di lingkungan peradilan militer pengawasan dilakukan oleh oditur militer bersama komandan atau atasan langsung yang membawahkan terhukum (Pasal 17 dan 20 KUHPM).
c.       Persyaratan
Dalam lembaga pidana bersyarat ketentuan persyaratan merupakan ciri khas dari bangunan hukum itu yang dikaitkan dengan :
1.      Jangka waktu masa percobaan;
2.      Pelaksanaan pengawasan.

d.      Sifat Pidana Bersyarat
Fungsi hukuman pidana tersebut adalah :
1.      Sebagai alat pencegah (prefensi);
2.      Memberi kepuasan kepada korban maupun anggota masyarakat lainnya;
3.      Penderitaan bagi terhukum.
Segi negatif penjatuhan pidana bersyarat itu ada di dalam syarat umum. Syarat ini tidak melahirkan suatu kewajiban khusus. Segi positifnya terletak di dalam syarat khusus yang bersifat fakultatif dan hanya dapat ditentukan dalam pemidanaan penjara maksimal 3 bulan atau lebih serta pemberian pidana kurungan atas pelanggaran tertentu (Pasal 504, 505, 506, 536, dan 492 KUHP).

e.       Ukuran Untuk Dijatuhkannya Hukuman Pidana Bersyarat
Pasal 14 a ayat (4) KUHP menyatakan bahwa : pidana bersyarat tidak boleh dijatuhkan melainkan jika setelah diadakan pemeriksaan teliti sebelumnya hakim berkeyakinan terhadap si terhukum dapat dilakukan pengawasan yang cukup memadai. Dan Pasal 14a ayat (5) KUHP seperti di atas.

f.       Beberapa Masalah yang Perlu Mendapat Perhatian
Pada umumnya dianggap bahwa hakim telah menyelesaikan tugasnya dengan memberikan putusan. Apabila kita lihat Undang-Undang No,14 Tahun 1970 tampaknya dengan dijatuhkan putusan itu hakim belum selesai dengan tugasnya. Sehubungan dengan itu, maka Pasal 33 UU tersebut menetapkan :
1.      Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa;
2.      Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan tersebut ayat (1) oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.
Penerapan ketentuan lembaga pidana bersyarat di dalam sistem hukum pidana Indonesia dirasakan perlu dan bermanfaat sebab :
a.       Lembaga pidana bersyarat mempunyai nilai-nilai sosial;
b.      Tujuan lembaga hukum itu tidak hanya sekedar sebagai pembalasan saja, melainkan berusaha mengembalikan terhukum menjadi orang yang baik;
c.       Mengembalikan keseimbangan dalam pergaulan sosial.
Hukum pidana tersebut hanya berlaku untuk tindak pidana yang bersifat ringan. Dalam praktek pengadilan pada umumnya hakim menjatuhkan pidana bersyarat jika ia menemukan hal-hal sebagai berikut :
a.       Terdakwa belum pernah dihukum;
b.      Terdakwa mengaku terus terang dan menyesali perbuatannya;
c.       Jika terdakwa masuk penjara dikhawatirkan akan menjadi jahat;
d.      Terdakwa melakukan perbuatan pidana itu terutama sebagai reaksi terhadap perbuatan orang lain terhadapnya;
e.       Pengadilan yakin adanya cukup pengawasan bahwa syarat-syarat yang dibebankan pada tertuduh akan terpenuhi;
(Pengadilan Negeri Rangkasbitung, 12 Juni 1972 No.51/1971/Pid/PTB).

g.      Pelaksanaa Pidana Bersyarat Menurut Hapmil
Didalam Pasal 257 HAPMIL, menyatakan bahwa dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang ini. Hukuman bersyarat adalah hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana tidak perlu dijalani kecuali ada perintah dari hakim.
Tugas pusat pemasyarakatan militer adalah membantu Pangab dalam membina napi ABRI untuk kembali menjadi prajurit Sapta Marga sedang fungsi utama pusat pemasyarakatan militer adalah :
1.      Merencanakan, menyusun, dan merumuskan program pembinaan;
2.      Mengadakan penelitian dan evaluasi terhadap napi ABRI;
3.      Menyelenggarakan, mengumpulkan, dan memelihara administrasi personil pada napi ABRI;
4.      Mengadakan koordinasi dalam menyelenggarakan pemasyarakatan militer;
5.      Merumuskan peraturan perUndang-undangan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemsyarakatan militer.

B.     Pelaksanaan Pidana Tambahan
1. Pemecatan dari dinas militer
Peraturan pemerintah no.6 Tahun 1990 dalam Pasal 59 menentukan tentang pengertian-pengertian dengan tidak hormat bagi prajurit ABRI, yaitu :
a.       Menganut ideologi yang bertentangan dengan Pancasila;
b.      Melakukan tindakan yang membahayakan keamanan dan keselamatan Negara dan Bangsa;
c.       Berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
d.      Dikenakan hukuman pidana yang lebih berat dari hukuman penjara 3 bulan dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang ia tidak dapat diperthankan dalam dinas keprajuritan;
e.       Dengan sengaja memberikan keterangan palsu tidak benar atau tidak lengkap;
f.       Mempunyai tabiat yang merugikan disiplin keprajuritan atau ABRI
Adapaun yang berwenang memutuskan pemberhentian seorang prajurit diatur dalam Pasal 60 PP No.6 Tahun 1990, yaitu :
1.      Wewenang pemberhentian terhadap prajurit ABRI dengan pangkat kolonel dan yang lebih tinggi ada pada presiden;
2.      Wewenang pemberhentian terhadap prajurit ABRI dengan pangkat letnan kolonel dan yang lebih rendah diatur lanjut oleh panglima.

2. Pidana Penurunan Pangkat
Diatur dalam Pasal 28 KUHPM, dalam Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM) Stbl 1934 No.168 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Stbl 1938 No.383 dan diubah pula dengan Undang-undang No.40 Tahun 1947 dalam Pasal 4 menentukan :
1.      Teguran;
2.      Penahan ringan maksimum 14 hari;
3.      Penahan sedang maksimum 24 hari;
4.      Penahan berat maksimum 14 hari;
5.      Penurunan pangkat.
3. Pencabutan Hak
Diatur dalam Pasal 29-31 KUHPM, adapun pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) no 1 s/d 3 adalah :
1.      Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2.      Hak memasuki angkatan bersenjata;
3.      Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

  
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan

Sanksi bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam KUHPM tidak jauh berbeda dengan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP. Hal ini dikarenakan KUHPM merupakan bagian dari hukum pidana umum. Namun selain banyak memiliki persamaan namun  terdapat juga perbedaan antara keduanya, hal ini dikarenakan bahwa subjek dari KUHPM hanya diperuntukan untuk anggota militer saja, berbeda dengan KUHP yang berlaku umum.

Sanksi pidana dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHPM) dibagi mejadi 2, yaitu : Sanksi pidana pokok dan Sanksi pidana tambahan (pasal 6 KUHPM).
a.       Sanksi pidana pokok terdiri dari :
1.      Pelaksanaan pidana mati
2.      Pelaksanaan pidana penjara
3.      Pelaksanaan pidana kurungan
4.      Pelaksanaan pidana tutupan (UU No 20 tahun 1946)
b.      Sanksi pidana tambahan  :
1.      Pemecata dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata
2.      Penurunan pangkat
3.      Pencabutan hak yang disebut dalam pasal 35 ayat 1 pada no 1,2, dan 3 KUHP

Sanksi pidana yang diatur dalam KUHPM dan KUHP memiliki persamaan dan perbedaan, perbedaanya dapt dilihat dengan membandingkan pasal 6 KUHPM dengan pasl 10 KUHP. Di dalam KUHP tidak terdapat pelaksanaan pidana tutupan namun dalam KUHPM diatur, sebaliknya dalam KUHP terdapat pidana denda dan dalam KUHPM tidak ada.  
Selain itu, dalam pelaksanaan pidana tambahan KUHPM memiliki sanksi-saknsi khusus yang tidak diatur dalam KUHP, hal ini dikarenakan subjek dari KUHPM hanyalah anggota militer berbeda dengan KUHP yang subjekya umum (warga sipil dan militer).

B.     Saran

Untuk melakukan penegakan hukum di lingkup militer, perlu adanya ke konsistenan dari para pemimpin terutama dari panglima militer itu sendiri.  Di karenakan sistem militer yang mengedepankan prinsip komando, maka disini atasan harus lebih tegas dalam penerapan hukuman kepada bawahannya.
Ancaman hukuman yang tinggi tidak akan berlaku efektif tanpa adanya probabilitas yang baik. Probabilitas yang baik itu didapatkan  dengan cara adanya penegakan hukum yang konsisten. Dalam hal ini para pemimpin militer perlu melakukan suatu penindakan yang konsisten terhadap anak buahnya yang melakukan tindak pidana atau  pelanggaran terhadap hukum disiplin militer.
Sekecil apapun pelanggaran itu perlu adanya tindakan dari para komandannya terhadap bawahannya guna menciptkan probabilitas yang baik dalam penegakan hukum pidana militer.


DAFTAR PUSTAKA

·         Salam Faisal,2006, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Mandari maju, Bandung
·         Nating, Irman, 2003, Sejarah peradilan militer di indonesia ,Solusi Hukum.com
·         http://streetlaw.wordpress.com : Hukum Ketentaraan
·         Kitab Undang Undang Hukum Pidana
·         Kitab Undang Undang Hukum Pidana Mliter




1 komentar:

  1. izin copas untuk referensi perkuliahan, terima kasih, sukses selalu.

    BalasHapus