SANKSI PIDANA BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA MILITER
SANKSI
PIDANA BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM KITAB UNDANG
UNDANG HUKUM PIDANA MILITER
Makalah Diajukan untuk Memenuhi Tugas, Mata Kuliah Hukum
Pidana Militer,
Semester Ganjil,
Tahun Akademik 2010 / 2011
Dosen Pembimbing :
-
Prof. Dr.H. Pontang Moerad B.M, S.H.
-
Yusef Mulyana S.H., M.H.
Oleh:
Rudi Pradisetia Sudirdja (091000299)
Kelas : E
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN
JALAN LENGKONG BESAR NO 68 BANDUNG
Telp. (022) 4205945, 4262226
2010
Kata
Pengantar
Asalamualaikum Wr.wb
Puji dan
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang tiada hentinya memberikan
petunjuk, rahmat dan karunia-Nya.
Tak lupa Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah
saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Dengan segala rasa syukur yang tinggi penyusun berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan dosen mata kuliah Hukum Pidana Militer Fakultas Hukum Universitas Pasundan yaitu “Membuat makalah “Sanksi Pidana Bagi Anggota Militer Yang
Melakukan Tindak Pidana Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer”
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir mata Hukum
Pidana Militer juga sebagai penambah wawasan mengenai sanksi-sanksi pidana bagi
anggota militer.
Penyusun menyusun makalah ini dengan baik,
baik dari isi maupun maupun dari kualitas. Namun penyusun menerima
saran dan kritikan konstruktif dari pembaca dengan senang hati.
Akhir
kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi
penyusun pada khususnya dan pembaca semua pada umumnya dan juga agar mengetahui
sanksi –sanksi pidana bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana.
Wabillihi taufik walhidayah wassalammu’alaikum Wr.Wb
Bandung, Desember 2010
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR
ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.............................................................1
B.
Identifikasi
Masalah...................................................................2
C.
Tujuan.........................................................................................2
D.
Kerangka Pemikiran...................................................................3
E.
Metodologi..................................................................................5
BAB II KITAB
UDANG UNDANG HUKUM PIDANA MILITER
A.
Buku
Pertama.............................................................................6
B.
Buku
Kedua..............................................................................15
BAB IV PEMBAHASAN
A.
Sanksi
Pidana Pokok dalam KUHPM......................................21
B.
Sanksi
Pidana Tambahan dalam KUHPM...............................34
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan................................................................................37
B.
Saran..........................................................................................38
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................v
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang
berlaku di suatu negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindak
pidana itu sendiri, dalam hal apa dan dengan bagaimana seseorang itu dinyatakan
melakukan tindak pidana (pertanggung jawaban pidana) dan pemberian sanksi atas
perbuatan pidana yang dilakukan tersebut.
Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana yang dimasksudkan
tersebut terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, yakni lingkup tindak pidana
umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum merupakan perbuatan piadana
yang diatur dalam KUHP. Sedangkan tindak pidana khusus adalah tindak pidana
khusus merupakan suatu tindak pidana yang diatur diluar KUHP dan pengaturannya
menyimpang dari KUHP.
Tindak pidana khusus tersebut terdiri dari bermacam-macam
perbuatan, yakni seperti tindak pidana korupsi (tipikor), tindak pidana
narkotika, psikotopika, pencucian uang, dan berbagai macam tindak pidana
lainnya yang diatur diluar KUHP. Tindak pidana militer merupakan salah satu
tindak pidana yang diluar KUHP, merupakan tindak pidana khusus dikarenakan
militer itu memegang senjata dan dapat mempergunakan senjata dan serta
mempunyai tugas untuk pembelaan dan pertahanan negara.
Maka diperlukan adanya suatu peraturan khusus dalam rangka
pengawasan kinerja militer. Hukum pidana militer dikatakan sebagai hukum pidana
khusus karena dalam hukum pidana militer tersebut terdapat penyimpangan dari
ketentuan pidana umum seperti sanksinya ataupun perbuatan (tindak) pidana itu
sendiri. Meskipun diberlakukan secara khusus namun para anggota militer
tersebut tetap tunduk pada ketentuan umum.
Sanksi hukuman bagi anggota militer lebih berat dibandingkan masyarakat
biasa, selain tunduk pada ketentuan umum di dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana, anggota militerpun tunduk pada suatu ketentuan khusus yaitu Kitab Undang
Undang Hukum Pidana Militer.
B.
Identifikasi Masalah
Apa saja sanksi pidana pokok
dan sanksi pidana tambahan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam
Kitam Undang Undang Hukum Pidana Militer serta perbedaan saksi yang diatur
dalam KUHP dan KUHPM
C. Tujuan
Untuk mengetahui sanksi pidana pokok dan sanksi pidana
tambahan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam Kitam Undang
Undang Hukum Pidana Militer serta perbedaan saksi yang diatur dalam KUHP dan
KUHPM
D. Kerangka Pemikiran
Militer
berasal dari kata Miles dalam bahasa Yunani berarti orang yang telah dipilih,
dilatih sedemikian rupa kemudian dipersenjatai dan disiapkan secara khusus oleh
negara untuk melaksanakan tugas pertempuran/perang. Yang dimaksud dengan
militer dalam pasal 46 UU NO 31/1997 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
adalah mereka yangberikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang yang
wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas
tersebut atau semua sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para militer
wajib sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas demikian juga jika
mereka berada diluar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka
dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang
dirumuskan dalam pasal-pasal 97,98 dan 139 Kitab Undang-Undang ini.
Hukum militer
dalam istilah Belanda disebut Millitair Recht. Secara umum pengertian Hukum
Militer didefinisikan oleh Anang Djajaprawira menyatakan bahwa hukum militer
itu adalah meliputi selengkapnya yang menyangkut kelakuan dan administrasi
militer. Sehingga dengan demikian pengertian hukum militer itu bukan hanya yang
menyangkut tentang hukum pidana militer, hukum acara militer dan hukum disiplin
militer saja melainkan juga meliputi :
Hukum
Internasional termasuk didalamnya hukum pidana internasional, Hukum Humaniter
yang mengatur tentang perang,Genewa Convention Yang mengatur tentang korban
perang.
Peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pemerintah militer Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yang mengatur
seorang militer tentang tindakan-tindakan mana yang merupakan pelanggaran atau
kejahatan atau merupakan larangan atau keharusan dan diberikan ancaman berupa
sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Militer bukanlah suatu hukum
yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau
kejahatan yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang menurut ketentuan
undang-undang dipersamakan dengan Prajurit TNI
Dalam
penerapannya Hukum Pidana Militer dipisahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM) sebagai hukum material dan hukum acara pidana militer
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer sebagai hukum formal. Terhadap setiap perbuatan yang merupakan
pelanggaran hukum dengan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit
TNI atau yang dipersamakan dengan Prajurit TNI, maka berdasarkan ketentuan
Hukum Pidana Militer harus diproses melalui Pengadilan Militer.
E. Metodologi
Untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan,
penulis menggunakan beberapa metode antara lain :
1. Studi
Pustaka
Pada
metode ini, penulis membaca buku-buku literature dan surat kabar yang berhubungan
erat dengan penyusunan makalah ini.
Seperti
buku tentang hukum pidana militer dan membaca surat kabar
yang isinya terdapat kaitanya dengan hukum
pidana dan hukum pidana militer , seperti Galamedia, Pikiran Rakyat. Selain itu
penulis juga memanfaatkan perkembangan teknologi, dengan browsing internet
untuk mencari artikel yang berkaitan dengan hukum pidana dan hukum pidana
militer.
2. Pemikiran
Penulis mencoba untuk belajar mengungkapkan hasil pemikiran penulis
Penulis mencoba untuk belajar mengungkapkan hasil pemikiran penulis
pribadi dan kemudian dituangkan pada makalah ini.
BAB II
KITAB
UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA MILITER
A.
BUKU PERTAMA
BAB PENDAHULUAN
PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM
PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM
Pasal 1
(Diubah dengan UU No 9 Tahun 1947) Untuk penerapan
kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk
bab kesembilan dari buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada
penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 2
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Terhadap tindak
pidana yang tidak atercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan
olehorang-orang yang tunduk pada kekuasan badan-badan peradilan militer,
diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang
ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 3
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947)
Ketentuan-ketentusan mengenai tindakan-tindakan yang tercantum dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, yang dilakukan di atas kapal (schip)
Indonesia atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi
tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu (vaartuig) Angkatan
Perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali jika isi ketentuan-ketentuan
tersebut meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan tersebut termasuk
dalam suatu ketentuan pidana yang lebih berat.
BAB I
BATAS-BATAS BERLAKUNYA KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
BATAS-BATAS BERLAKUNYA KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 4
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1957)
Ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, selain darip[ada
yang dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, diterapkan kepada
militer:
Ke-1, Yang sedang dalam hubungan dinas berada di luar Indonesia,
melakukan suatu tindak pidana di tempat itu;
Ke-2, Yang sedang di luar hubungan dinas berada di luar
Indonesia, melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam kitabn
undang-undang ini, atau suatu kejahatan jabatan yang berhubungan dengan
pekerjaannya untuk Angkatan Perang, suatu pelanggaran jabatan sedemikian itu,
atau suatu tindak pidana dalamn keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 5
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Ketentuan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang, yang dalam
keadaan perang, di luar Indonesia melakukan suatu tindak pidana, yang dalam
keadaan-keadaan tersebut termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan mliter.
BAB II
PIDANA
PIDANA
Pasal 6
Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab
undang-undang ini adalah:
a. Pidana-pidana utama:
ke-1, Pidana mati;
ke-2, Pidana penjara;
ke-3, Pidana kurungan;
ke-4, Pidana tutupan (UU No 20 Tahun 1946).
ke-1, Pidana mati;
ke-2, Pidana penjara;
ke-3, Pidana kurungan;
ke-4, Pidana tutupan (UU No 20 Tahun 1946).
b. Pidana-pidana tambahan:
ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau taznpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
ke-2, Penurunan pangkat;
ke-3, Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau taznpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
ke-2, Penurunan pangkat;
ke-3, Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 7
(1) Untuk pidana-pidana utama dan pidana tambahan yang disebutkan pada
nomor 3 dalam pasal tersebut di atas, berlaku ketentuan-ketentuan pidana yang
senama yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sejauh mengenai
pidana utama itu tidak ditetapkan penyimpangan-penyimpangan dalam iitab
undang-undang ini.
(2) Penyimpangan-penyimpangan ini berlaku juga bagi pidana-pidana utama
yang disebutkan dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang
diancamkan terhadap suatu tindak pidana yang tidak diatur dalam kitab
undang-undang ini.
Pasal 8
(1) (Disempurnakan dengan UU No 2 Pnps 1964) Pidana mati yang dijatuhkan
kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer, dijalankan
dengan ditembak mati oleh sejumlah militer yang cukup.
(2) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947 dan selanjutnya lihat UU No 2 Pnps
1964) Peraturan- peraturan selanjutnya tentang cara menjalankan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 9
Penguburan jenasah terpidana diselenggarakan dengan
sederhana tanpa upacara militer, atau jika menjalankan pidana mati itu
dilaksanakan di perahu laut dan jauh dari pantai, jenasah terpidana diterjunkan
ke laut.
Pasal 10
Pidana penjara sementara atau pidana kurungan
termasuk pidana kurungan pengganti yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang
dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di bangunan-bangunan yang
dikuasai oleh militer.
Pasal 11
(1) Militer yang menjalani salah satu pidana tersebut pada pasal
terdahulu, melaksanakan sesuatu pekerjaan yang ditugaskan sesuai dengan
peraturan pelaksanaan pada Pasal 12.
(2) Ketentuan-ketentuan pada Pasal 20, 21, 23 dan 24 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana tidak diterapkan kepada terpidana.
Pasal 12
(1) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Penunjukan rumah-rumah
pemasyarakatan militer yang dimaksud pada Pasal 10, demikian pula tentang
pengaturan dan penguasaan bangunan-bangunan itu, tentang pembagian para
terpidana dalam kelas-kelas, tentang pekerjaan, tentang upah untuk pekerjaan
itu, tentang pendidikan (pemasyarakatan), tentang ibadat, tentang tata tertib,
tentang tempat tidur, tentang makanan dan tentangf pakaian diatur dengan
perundang-undangan.
(2) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Peraturan-peraturan rumah tangga
untuk bangunan-bangunan tersebut, jika perlu ditetapkan oleh Menteri Pertahanan
dan Keamanan.
Pasal 13
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Untuk menjalani
pidana penjara, pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti oleh para
terpidana, dalam keadaan-keadaan dan dengan cara yang ditentukan dengan
undang-undang, dapat dijalankan di suatu tempat lain sebagai pengganti dari
bangunan yang seharusnya disediakan bagi penjalanan pidana tersebut.
Pasal 14
Apabila seseorang dinyatakan bersalah karena
melakukan suatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya
akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi tiga
bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut dijalani
sebagai pidana kurungan.
Pasal 15
Hak yang dimaksudkan pada Pasal 14.a. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, hanya digunakan apabila tidak akan bertentangan
dengan kepentingan militer.
Pasal 16
Dalam perintah kepada terpidana yang dimaksud pada
Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jika terpidana adalah militer,
harus selalu ikut ditetapkan sebagai persyaratan umum, bahwa sebelum habis masa
percobaannya ia tidak akan melakukan pelanggaran disiplin militer yang
tercantum pada nomor ke-1 Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer
yang bersifat berat, dan demikian pula mengenai pelanggaran disiplin militer
yang tercantum pada nomor ke-2 sampai denganb ke6 pasal tersebut.
Pasal 17
Jika terpidana adalah militer, maka usul yang
dimaksudkan pada ayat pertama Pasal 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dibuat berdasarkan keputusan dari Panglima/Perwira komandan langsungnya,
keputusan mana tidak boleh diambil sebelum meminta pendapat dari pejabat yang
berhak mengajukan usul tersebut.
Pasal 18
Apabila perintah diberikan untuk menjalani pidana,
sesuai dengan Pasal 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kepada terpidana
yang pada saat itu bukan seprang militer, atau tidak sedang dalam dinas yang
sebenarnya, hakim dapat menentukan bahwa pidana-pidana tambahan yang dimaksudkan
dalam Pasal 6.b. nomor ke-1 dan ke-2 tidak akan dijalankan.
Pasal 19
(Diubah dengan UU No 38 Tahun 1947) Apabila
perintah yang dimaksudkan pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
telah diberikan oleh suatu Mahkamah Militer Luar Biasa/khusus yang telah
ditiadakan/dihentikan, maka yang dianggap sebagai pejabat yang dimaksud pada
Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah Jaksa/ Oditur Militer
Agung, dan hak-hak yang dirumuskan pada Pasal-pasal 14.c. dan 14.f. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dilaksanakan oleh Mahkamah Militer Agung.
Pasal 20
Apabila diberikan suatu tugas untuk memberi bantuan
atau pertolongan sesuai dengan ayat kedua Pasal 14.d. atau ayat keempat Pasal
15.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka tindakan-tindakan yang berhubungan
dengan itu, harus dengan persetujuan Panglima/Perwira komandan langsung, jika
terpidana bersyarat atau yang dibebaskan bersyarat berada dalam dinas yang
sebenarnya.
Pasal 21
BAB III
PENIADAAN, PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA
PENIADAAN, PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA
Pasal 32
(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Tidak dipidana,
barangsiapa dalam waktu perang, melakukan suatu tindakan, dalam batas-batas
kewenangannya dan diperbolehkan oleh peraturan-peraturan dalam hukum perang,
atau yang pemidanaannya akan bertentangan dengan suatu perjanjian yang berlaku
antara Indonesia dengan negara lawan Indonesia berperang atau dengan suatu
peraturan yang dutetapkan sebagai kelanjutan dari perjanjian tersebut.
Pasal 33
BAB IV
PERBARENGAN TINDAK PIDANA
PERBARENGAN TINDAK PIDANA
Pasal 39
Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, kecuali pidana-pidana yang ditentukan dalam
Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tidak boleh dijatuhkan pidana
lainnyselain daripada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk
memasuki Angkatan Bersenjata.
BAB V
TINDAK PIDANA YANG HANYA DAPAT DITUNTUT KARENA PENGADUAN
TINDAK PIDANA YANG HANYA DAPAT DITUNTUT KARENA PENGADUAN
Pasal 40
Apabila salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam
Pasal-pasal 287, 293 dan 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilakukan dalam
waktu perang oleh orang yang tunduk pada peradilan militer, maka penuntutannya
dapat dilakukan karena jabatan.
BAB VI
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA
Pasal 41
BAB VII
PENGERTIAN BEBERAPA ISTILAH DALAM KITAB UNDANG-UNDANG INI, PERLUASAN PENERAPAN BEBERA[A KETENTUAN
PENGERTIAN BEBERAPA ISTILAH DALAM KITAB UNDANG-UNDANG INI, PERLUASAN PENERAPAN BEBERA[A KETENTUAN
Pasal 45
B.
BUKU KEDUA
KEJAHATAN-KEJAHATAN
BAB I
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
Pasal 64
BAB II
KEJAHATAN DALAM MELAKSANAKAN KEWAJIBAN PERANG, TANPA BERMAKSUD UNTUK MEMBERI BANTUAN
KEPADA MUSUH ATAU MERUGIKAN NEGARA UNTUK KEPENTINGAN MUSUH
KEJAHATAN DALAM MELAKSANAKAN KEWAJIBAN PERANG, TANPA BERMAKSUD UNTUK MEMBERI BANTUAN
KEPADA MUSUH ATAU MERUGIKAN NEGARA UNTUK KEPENTINGAN MUSUH
Pasal 73
Pasal 81
Militer, yang dengan sengaja mengambil suatu barang
yang ditentukan tidak termasuk rampasan perang, tanpa maksud untuk dengan
melawan hukum memiliki barang itu, diancam dengan pidana penjara maksimum empat
tahun.
BAB III
KEJAHATAN YANG MERUPAKAN SUATU CARA BAGI SESEORANG MILITER UNTUK
MENARIK DIRI DARI PELAKSANAAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DINAS
KEJAHATAN YANG MERUPAKAN SUATU CARA BAGI SESEORANG MILITER UNTUK
MENARIK DIRI DARI PELAKSANAAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DINAS
Pasal 85
Militer, yang karena salahnya menyebabkan
ketidakhadirannya tanpa izin diancam:
Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sembilan bulan, apabila
ketidakhadiran itu dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama
dari tiga puluh hari;
Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun, apabila ketidakhadiran
itu dalam waktu damai, dfisebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian
dari suatu perjalanan ke suatu tempat yang terletak di luar pulau di mana dia
sedang berada yang diketahuinya atau patut harus menduganya ada perintah untuk
itu;
Ketiga, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun empat bulan apabila
ketidakhadiran itu, dalam waktu poerang tidak lebih lama dari empat hari;
Ke-4, Dengan pidana penjara maksimum dua tahun, apabila ketidakhadiran
itu dalam waktu perang, disebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian
dari usaha perjalanan yang diperintahkan kepadanya sebagaimana diuraikan pada
nomor ke-2, atau tergagalkannya suatu perjumpaan dengan musuh.
Pasal 86
Militer, yang dengan sengaja melakukan
ketidakhadiran tanpa izin diancam:
Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum 1 tahun 4 bulan, apabila
ketidakhadiran aitu dalam waktu damai minimal 1 hari dan tidak lebih lama dari
30 hari.
Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum 2 tahun 8 bulan, apabila
ketidakhadiran itu dalam waktu perang tidak lebih lama dari 4 hari.
Pasal 87
(1) Diancam karena desersi, militer:
Ke-1, Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya
dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke
musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa
dibenarkan untuk itu;
Ke-2, Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan
ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari,
dalam waktu perang lebih lama dari empat hari;
Ke-3, Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran izin dan
karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu
perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada pasal 85 ke-2.
(2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana
penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
(3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana
penjara maksimum delapan tahun enam bulan.
BAB IV
KEJAHATAN TERHADAP PENGABDIAN
KEJAHATAN TERHADAP PENGABDIAN
Pasal 97
(1) Militer, yang dengan sengaja, menghina atau mengancam dengan suatu
perbuatan jahat kepada seorang atasan, baik di tempat umum secara lisan atau
dengan tulisan atau lukisan, atau di hadapannya secara lisan atau dengan
isyarat atau perbuatan, atau dengan surat atau lukisan yang dikirimkan atau
yang diterimakan, maupun memaki-maki dia atau menistanya atau dihadapannya
mengejeknya, diancam dengan pidana penjara maksimum satu tahun.
(2) Apabila tindakan itu dalam dinas, diancam dengan pidana penjara
maksimum dua tahun.
Pasal 98
BAB V
KEJAHATAN TENTANG PELBAGAI KEHARUSAN DINAS
KEJAHATAN TENTANG PELBAGAI KEHARUSAN DINAS
Pasal 118
BAB VI
PENCURIAN DAN PENADAHAN
PENCURIAN DAN PENADAHAN
Pasal 140
Diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun,
barangsiapa yang melakukan pencurian dan dalam tindakan itu telah
menyalahgunakan (kesempatan) tempat kediamannya atau perumahannya yang
diperolehnya berdasarkan kekuasaan umum.
Pasal 141
BAB VII
PERUSAKAN, PEMBINASAAN ATAU PENGHILANGAN BARANG-BARANG KEPERLUAN ANGKATAN PERANG
PERUSAKAN, PEMBINASAAN ATAU PENGHILANGAN BARANG-BARANG KEPERLUAN ANGKATAN PERANG
Pasal 147
Barangsiapa, yang dengan melawan hukum dan dengan
sengaja membunuh, membinasakan, membuat tidak terpakai ubntuk dinas atau
menghilangkan binatang keperluan Angkatan Perang, diancam:
ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sepunuh tahun, apabila tindakan itu
dilakukannya, sementara ia termasuk suatu Angkatan Perang yang disiapsiagakan
untuk perang.
ke-2, dengan pidana penjara maksumum lima tahun dalam hal lain-lainnya.
Pasal 148
Barangsiapa, yang dengan melawan hukum dan dengan
sengaja merusak, membinasakan, membuat tidak terpakai atau menghilangkan suatu
baang keperluan perang, ataupun yang dengan sengaja dan semaunya menanggalkan
dari diri sendiri suatu senjata, munisi, perlengkapan perang atau bahan makanan
yang diberikan oleh negara kepadanya, diancam:
ke-1, dengan pidana penjara maksimum sepuluh tahun, apabila tindakan itu
dilakukannya sementara ia termasuk pada suatu Angkatanm Perang yang
disiapsiakan untuk perang;
ke-2, dengan pidana penjara maksimum lima tahun, di luar hal-hal yang
disebutkan pada sub ke-1 pasal ini dan ayat pertama dari Pasal 72.
KETENTUAN PENUTUP
UMUM
Pasal 150
Kitab undang-undang ini dapat disebut sebagai
"Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer".
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Pidana Pokok
1. Pelaksanaan Pidana Mati
Pasal 255 HAPMIL menentukan bahwa pelaksanaan pidana mati
dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dimuka
umum.
Di banyak negara hukuman pidana telah dihapus dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dedangkan di Indonesia masih tetap berlaku. Negeri
Belanda yang mewariskan hukum Pidana kepada Indonesia telah menghapuskan
hukuman mati itu di Indonesia oleh pemerintah kolonial belanda tidak dihapus,
karena Indonesia merupakan dareah jajahan, dikhawatirkan kepentingan penjajah
itu akan terganggu, oleh karena itu bagi si pengganggu itu perlu diancam
hukuman yang berat. Dalam rangka pembaharuam hukum di negara kita, sekarang ini
perlu dipikirkan apakah hukuman itu masih perlu dipertahankan.
Sekalipun pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim sudah
mempunyai mempunyai kekuatan kekuatan hukum yang tetap, artinya terpidana tidak
naik banding, tidak mohon grasi, bahkan menerima pidana yang dijatuhkan, namun
pidana mati itu belum boleh dilaksanakan sebelum mendapat keputusan dari
Presiden. Hal ini diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Grasi No.3 tahun 1950 LN. No.40 Tahun 1950.
Apabila keputusan Presiden tidak
mengubah pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka pelaksanaannya
diatur dalam Undang-Undang No.2 PNPS 1964, pelaksanaan pidana mati dilakukan
dengan ditembak sampai mati. Cara-cara pelaksanaan pidana mati sipil yustilabel
peradilan umum diatur dalam pasal 2 s/d 16 Undang-undang No. 2 PNPS 1964 dam
umtuk anggota militer yustilabel peradilan militer diatur dalam Pasal 17.
Beberapa ketentuan tentang cara pelaksanaan pidana mati untuk
yustilabel peradilan militer :
1.
Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh MENHANKAM/PANGAB
di daerah pengadilan yang menjatuhkan putusan tersebut, kecuali ditentukan lain
;
2.
Panglima daerah bertangung jawab mengenai pelaksanaan
setelah terdengar saran dari Oditur Militer yang bersangkutan dan menanyakan
hari/tanggal pelaksanaan tersebut ;
3.
Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu
militer ;
4.
Apabila terpidana sedang hamil maka harus ditunda
sampai anak yang dikandungnya lahir ;
5.
Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati,
Oditur Militer yang bersangkutan harus memberitahukan tentang pelaksanaan
tersebut kepada terpidana dan apabila terpidana mengemukakan sesuatu maka pesan
itu harus diterima oleh Oditur yang bersangkutan ;
6.
Oditur militer yang bersangkutan dan Panglima daerah
atau yang ditunjuk harus menghadiri pelaksanaan tersebut, sedangkan penasehat
Hukum terpidana atas permintaan sendiri dapat menghadirinya ;
7.
Pelaksanaan hukuman mati tidak boleh diadakan secara
demonstratif atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan dimuka umum ;
8.
Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada
keluarga, sahabat-sahabat terpidana dan harus dicegah pelaksanaan penguburan
yang demonstratif ;
9.
Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut,
Oditur harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut ;
2. Pelaksanaan Pidana Penjara
Setelah menerima kutipan Surat
Keputusan yang telah menjadi tetap dari Panitera Pengadilan, Oditur melaporkan
hal itu kepada PAPERA/ANKUM dengan melampirkan ikhtisar Putusan. Selanjutnya
bagi seorang militer, baik ia dijatuhi hukuman pada Pengadilan Militer maupun
Pengadilan Umum dalam rangka koneksitas, maka tempat menjalani hukuman itu
dejalankan sesuai dengan yang termaksud dalam pasal 256 HAPMIL ;
Bagi seorang militer baik ia
dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Militer maupun dijatuhi oleh Pengadilan Umum
selama tidak dipecat dari dinas militer, menjalani pidana tersebut di Lembaga
Pemasyarakatan Umum.
Pemisahan tempat menjalani pidana
bagi seorang terpidana yang berstatus militer (termasuk yang dipersamakan) dari
terpidana umum mutlak diperlukan karena sifat pelaksanaan antara Lembaga
Permasyarakatan Militer dengan Lembaga Pemasyarakatan Umum berbeda. Apabila
Permasyarakatan Umum bagi terpidana sipil ditujukan agar ia bias kembali
bergaul dalam masyarakat sekitanya, maka system pembinaannya harus berintikan
aturan-aturan pergaulan dalam masyarakat ;
Sedangkan system Lembaga
Pemasyarakatan Militer, system pembinaannya dimana terpidana selesai menjalani
hukuman akan dikembalikan ke kesatuannya. Oleh karena itu pembinaannya
diusahakan tetap mengacu pada disiplin militer, patuh dan taat pada atasan dan
menghilangkan rasa rendah diri, sehingga setelah keluar dari lembaga
permasyarakatan, mantan terpidana tidak merasa canggung atau kaku ;
Penjatuhan pidana bagi seorang
militer, pad adasarnya lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan
daripada balas dendam, selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas
militer setelah menajlani pidan. Seorang militer (mantan terpidana) yang akan
kembali aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan berguna,
baik karena kesadaran sendiri maupun sebagai hasil ‘tindakan pendidikan’ yang
ia terima selama dalam lembaga pemasyarakatan militer (INREHAB).
Seandainya tidak demikian halnya, maka penjatuhan pidana itu
tidak mempunyai arti dalam rangka pengembaliannya dalam masyarakat militer. Hal
seperti itu perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menentukan perlu atau
tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana disamping
dasar-dasar lainnya yang sudah ditentukan. Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman
tambahan, dipecat dari dinas militer, sebaiknya pemecatan itu diikuti dengan
‘dicabutnya hak untuk memasuki daerah dinas militer’, ;
Bagi prajurit yang seadng menjalani
penahanan, pidana penjara, kurungan dan tutupan berlaku ketentuan tata tertib
tempat menjalani penahanan atau tempat menjalani pidana, pembinaan disiplinnya
diserahkan ketempat menjalani penahanan atau tempat menjalani pidana, pembinaan
disiplinnya diserahkan sementara dari atasan atau ANKUM kepada lembaga
pemasyarakatan tempat menjalani pidana sampai masa penahana atau masa pidananya
selesai dijalani ;
Dapat diperkirakan bahwa walaupun
telah dikenakan ‘pendidikan keras’ yaitu menjalani pidana perampasan
kemerdekaan kepada seorang milite (terpidana), ia tidak akan berubah kelakuannya
sehingga tidak pantas kembali ke masyarakat militer, lebih baik dikeluarlkan
saja militer yang seperti itu sebagaimana dimaksaud dalam Undang-undang No.2
tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pasal 38 ;
Bagi bintara dan Tamtama
dilaksanakan berdasarkan usul atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang
mempunyai wewnang penuh setelah mendengar saran staf secara berjenjang ;
Adapun yang dimaksud dalam pasal 256
ayat (2) yaitu dalam hal terpidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi
pidana penjara atau sejenis sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terlebih
dahulu, hal ini dimaksudkan agar pidana itu dijalani secara berurutan atau
berturut-turut secara berkesinambungan dengan tidak terputus keseluruhan
hukuman ;
Penjatuhan pidana sebagai mana
dimaksud dalam pasak 256 ayat (2) tersebut dapat beberapa macam :
1.
Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi pula dengan
penjatuhan hukuman kurungan
2.
Dijatuhi hukuman kurungan kemudian dijatuhi pula
hukuman penjara
3.
Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi pula hukuman
penjara yang lain ;
4.
Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi hukuman
tambahan, misalkan hukuman denda ;
3. Pelaksanaan Pidana Kurungan
Di dalam pasal 14 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Militer menyatakan sebagai berikut :
“Apabila
seorang dinyatakan bersalah karena melakukan sesuatu kejahatan yang dirumuskan
dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan kepadanya pidana penjara
sebagai pidana utama yang tidak melebihi 3 bulan, hakim berhak menentukan dengan
putusan bahwa pidana tersebut dijalankan sebagai pidana kurungan.“
Biasanya perkara sebelum
diserahkan/dilimpahkan ke pengadilan militer oleh Oditur dipelajarai terlebih
dahulu. Kalau seandainya perkara itu sedemikian ringannya, perkara itu diselesaikan
secara disiplin, dimana Oditur menyarankan kepada Papera agar perkara itu
diselesaikan secara disiplin.
Namun demikian apabila suatu perkara
telah dilimpahkan ke Pengadilan Militer, maka Oditur dapat menuntut agar
terdakwa menjatuhi hukuman 3 bulan penjara dan dijalankan seperti pidana
kurungan. Kalaupun Oditur tidak menuntut demikian maka hakim dapat saja
menjatuhkan putusannya dengan hukuman penjara kurungan dalam peraturan
kepenjaraan dibeikan pekerjaan didalam tembok Rumah Permasyarakatan dan pekerjaan
yang diberikan lebih ringan dibandingkan dengan mereka yang dijatuhkan hukuman
penjara;
4. Pelaksanaan Pidana Tutupan
Hukuman tutupan diatur dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 1946 yang hanya memuat 6 pasal ;
Didalam praktek hukuman tertutup baru satu kali dijatuhkan
yaitu dalam perkara 3 Juli 1946 yang dikutip dari buku 30 tahun Perkembangan Peradilan Militer yaitu peristiwa 3 Juli 1946
di Yogyakarta yang diadili oleh Mahkamah Tentara Agung dimana pelakunya
sebanyak 17 orang terdakwa yang terdiri dari seorang anggota tentara berpangkat
Jenderal Mayor dan 16 orang sipil, dengan dakwaan melakukan atau tersangkut
dalam penyertaan tindak pidana ;
Perbuatan tersebut dilakukan oleh
para terdakwa karena merasa tidak puas terhadap kebijakan politik yang waktu itu
dijalankan oleh Kabinet Syahrir, maka Jenderal Mayor S, kepala Divisi III
Yogyakarta bersama dengan Mr. M.Y. dan kawan-kawannya pada tanggal 3 Juli
1946 telah mendatangi istana Presiden RI
dengan maksud untuk memaksakan suatu konsep susuna cabinet baru serta
penggantian pemerintahan yang bila ini dilaksanakan, maka susunan pemerintahan
RI akan mempunyai bentuk yang berlainan dengan yang ditetapkan dalam UUD 1945.
Seusai dengan konsep-konsep mereka
tersebut antara lain dikehendaki agar segala kekuasaan tentang ketentaraan
diserahkan kepada Panglima Besar dan kekuasaan yang selebihnya diserahkan
kepada suatu Dewan Pimpinan Politik. Tindakan tersebut diatas sebelumnya oleh
mereka didahului dengan tindakan-tindakan :
1.
Penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir dan Menteri
Pertahanan Amir Syarifudin ;
2.
Pelepasan 14 orang tahanan politik dari penajra
Wirogunan ;
3.
Berusaha mengorganisir berkumpulnya tokoh-tokoh politik
dan lascar-laskar di alun-alun pada tanggal 3 Juli 1946 ;
Usaha mereka untuk mengadakan perubahan-perubahan
di bidang pemerintahan dengan cara-cara tersebut di atas gagal karena Presiden
ternyata tidak mau memenuhi kehendak mereka, sebaliknya mereka ditangkap dan
kemudian diajukan ke persidangan Mahkamah tentara Agung pada tanggal 27 Mei
1948 ;
Atas putusan
hukuman yang dijatuhkan, pemerintah memberikan pengampunan (Grasi) dengan
pertimbangan bahwa mereka itu melakukan perbuatannya Karen didorong oleh
cita-cita yang luhur bagi kepentingan Nusa dan Bangsa ;
5.
Pelaksanaan
Pidana Bersyarat
·
Pasal 15 KUHPM
Hak
yang dimaksud pada Pasal 14 a KUHP, hanya digunakan apabila tidak akan
bertentangan dengan kepentingan militer :
·
Pasal 16 KUHPM
·
Pasal 17 KUHPM
·
Pasal 18 KUHPM
·
Pasal 19 KUHPM
·
Pasal 20 KUHPM
·
Pasal 21 KHPM
·
Pasal 22 KUHPM
Pasal-pasal
sebagaimana diutarakan di atas merupakan landasan hukum bagi pidana bersyarat.
Lembaga pidana bersyarat diatur dalam KUHP (Pasal a s/d f) dan dalam ordonansi
pelaksanaan pidana bersyarat (stbl 1926 No.251 yo 486, 487 berlaku mulai
tanggal 1 Januari 1927). Dalam Pasal 14a ayat 4 KUHP ditentukan bahwa pidana
bersyarat dapat dijatuhkan jika hakim berkeyakinan akan adanya pengawasan yang
memadai mengenai pelaksanaannya. Mengenai hal ini dibedakan dalam :
1. Pengawasan
umum, bersifat imperatif;
2. Pengawasan
khusus, bersifat fakultatif (sebagai pemberian bantuan).
Dari
ketentuan-ketentuan itu dapat disimpulkan mengenai pengertian tentang pidana
bersyarat, yaitu :
1. Terdakwa
yang dijatuhi hukuman dan menerimanya dinyatakan sebagai terhukum;
2. Pelaksanaan
hukuman pokok ditunda;
3. Penundaan
digantungkan pada suatu syarat tertentu, yaitu selama masa percobaan terhukum
tidak boleh melakukan suatu pelanggaran dan berkewajiban memenuhi yang telah
ditentukan dalam perjanjian khusus.
a.
Maksud
dan Tujuan Lembaga Pidana Bersyarat
Lembaga
hukum itu dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada terhukum dalam jangka
waktu tertentu memperbaiki diri diluar tembok penjara, jelasnya di dalam
masyarakat, dengan bantuan seorang petugas dari lembaga reklasering.
b.
Lembaga
Pengawasan
Pengaturannya
terdapat dalam Pasal 14d KUHP dan Stbl No.487 Tahun 1926. Dibedakan adanya
pengawasan umum dan pengawasan khusus. Pengawasan umum bersifat imperatif atau
suatu keharusan dan dilakukan oleh penjabat yang mempunyai tugas untuk
melaksanakan putusan itu dan hal ini ada hubungannya dengan ketentuan mengenai
persyaratan umum.
Di
lingkungan peradilan militer pengawasan dilakukan oleh oditur militer bersama
komandan atau atasan langsung yang membawahkan terhukum (Pasal 17 dan 20
KUHPM).
c.
Persyaratan
Dalam
lembaga pidana bersyarat ketentuan persyaratan merupakan ciri khas dari
bangunan hukum itu yang dikaitkan dengan :
1. Jangka
waktu masa percobaan;
2. Pelaksanaan
pengawasan.
d.
Sifat
Pidana Bersyarat
Fungsi
hukuman pidana tersebut adalah :
1. Sebagai
alat pencegah (prefensi);
2. Memberi
kepuasan kepada korban maupun anggota masyarakat lainnya;
3. Penderitaan
bagi terhukum.
Segi
negatif penjatuhan pidana bersyarat itu ada di dalam syarat umum. Syarat ini
tidak melahirkan suatu kewajiban khusus. Segi positifnya terletak di dalam
syarat khusus yang bersifat fakultatif dan hanya dapat ditentukan dalam
pemidanaan penjara maksimal 3 bulan atau lebih serta pemberian pidana kurungan
atas pelanggaran tertentu (Pasal 504, 505, 506, 536, dan 492 KUHP).
e.
Ukuran
Untuk Dijatuhkannya Hukuman Pidana Bersyarat
Pasal
14 a ayat (4) KUHP menyatakan bahwa : pidana bersyarat tidak boleh dijatuhkan
melainkan jika setelah diadakan pemeriksaan teliti sebelumnya hakim
berkeyakinan terhadap si terhukum dapat dilakukan pengawasan yang cukup
memadai. Dan Pasal 14a ayat (5) KUHP seperti di atas.
f.
Beberapa
Masalah yang Perlu Mendapat Perhatian
Pada
umumnya dianggap bahwa hakim telah menyelesaikan tugasnya dengan memberikan
putusan. Apabila kita lihat Undang-Undang No,14 Tahun 1970 tampaknya dengan
dijatuhkan putusan itu hakim belum selesai dengan tugasnya. Sehubungan dengan
itu, maka Pasal 33 UU tersebut menetapkan :
1. Pelaksanaan
putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa;
2. Pengawasan
pelaksanaan putusan pengadilan tersebut ayat (1) oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.
Penerapan ketentuan lembaga pidana
bersyarat di dalam sistem hukum pidana Indonesia dirasakan perlu dan bermanfaat
sebab :
a. Lembaga
pidana bersyarat mempunyai nilai-nilai sosial;
b. Tujuan
lembaga hukum itu tidak hanya sekedar sebagai pembalasan saja, melainkan
berusaha mengembalikan terhukum menjadi orang yang baik;
c. Mengembalikan
keseimbangan dalam pergaulan sosial.
Hukum pidana tersebut hanya berlaku
untuk tindak pidana yang bersifat ringan. Dalam praktek pengadilan pada umumnya
hakim menjatuhkan pidana bersyarat jika ia menemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Terdakwa
belum pernah dihukum;
b. Terdakwa
mengaku terus terang dan menyesali perbuatannya;
c. Jika
terdakwa masuk penjara dikhawatirkan akan menjadi jahat;
d. Terdakwa
melakukan perbuatan pidana itu terutama sebagai reaksi terhadap perbuatan orang
lain terhadapnya;
e. Pengadilan
yakin adanya cukup pengawasan bahwa syarat-syarat yang dibebankan pada tertuduh
akan terpenuhi;
(Pengadilan
Negeri Rangkasbitung, 12 Juni 1972 No.51/1971/Pid/PTB).
g.
Pelaksanaa
Pidana Bersyarat Menurut Hapmil
Didalam Pasal 257 HAPMIL, menyatakan
bahwa dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat pelaksanaannya
dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut
ketentuan undang-undang ini. Hukuman bersyarat adalah hukuman yang dijatuhkan
kepada terpidana tidak perlu dijalani kecuali ada perintah dari hakim.
Tugas pusat pemasyarakatan militer
adalah membantu Pangab dalam membina napi ABRI untuk kembali menjadi prajurit
Sapta Marga sedang fungsi utama pusat pemasyarakatan militer adalah :
1. Merencanakan,
menyusun, dan merumuskan program pembinaan;
2. Mengadakan
penelitian dan evaluasi terhadap napi ABRI;
3. Menyelenggarakan,
mengumpulkan, dan memelihara administrasi personil pada napi ABRI;
4. Mengadakan
koordinasi dalam menyelenggarakan pemasyarakatan militer;
5. Merumuskan
peraturan perUndang-undangan yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pemsyarakatan militer.
B.
Pelaksanaan
Pidana Tambahan
1. Pemecatan dari dinas militer
Peraturan
pemerintah no.6 Tahun 1990 dalam Pasal 59 menentukan tentang
pengertian-pengertian dengan tidak hormat bagi prajurit ABRI, yaitu :
a. Menganut
ideologi yang bertentangan dengan Pancasila;
b. Melakukan
tindakan yang membahayakan keamanan dan keselamatan Negara dan Bangsa;
c. Berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
d. Dikenakan
hukuman pidana yang lebih berat dari hukuman penjara 3 bulan dan menurut
pertimbangan pejabat yang berwenang ia tidak dapat diperthankan dalam dinas
keprajuritan;
e. Dengan
sengaja memberikan keterangan palsu tidak benar atau tidak lengkap;
f. Mempunyai
tabiat yang merugikan disiplin keprajuritan atau ABRI
Adapaun yang berwenang memutuskan
pemberhentian seorang prajurit diatur dalam Pasal 60 PP No.6 Tahun 1990, yaitu
:
1. Wewenang
pemberhentian terhadap prajurit ABRI dengan pangkat kolonel dan yang lebih
tinggi ada pada presiden;
2. Wewenang
pemberhentian terhadap prajurit ABRI dengan pangkat letnan kolonel dan yang
lebih rendah diatur lanjut oleh panglima.
2. Pidana Penurunan Pangkat
Diatur
dalam Pasal 28 KUHPM, dalam Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM)
Stbl 1934 No.168 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Stbl 1938 No.383
dan diubah pula dengan Undang-undang No.40 Tahun 1947 dalam Pasal 4 menentukan
:
1. Teguran;
2. Penahan
ringan maksimum 14 hari;
3. Penahan
sedang maksimum 24 hari;
4. Penahan
berat maksimum 14 hari;
5. Penurunan
pangkat.
3. Pencabutan Hak
Diatur
dalam Pasal 29-31 KUHPM, adapun pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 35 ayat
(1) no 1 s/d 3 adalah :
1. Hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2. Hak
memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Sanksi bagi anggota militer
yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam KUHPM tidak jauh berbeda dengan
sanksi pidana yang diatur dalam KUHP. Hal ini dikarenakan KUHPM merupakan
bagian dari hukum pidana umum. Namun selain banyak memiliki persamaan namun terdapat juga perbedaan antara keduanya, hal
ini dikarenakan bahwa subjek dari KUHPM hanya diperuntukan untuk anggota
militer saja, berbeda dengan KUHP yang berlaku umum.
Sanksi pidana dalam Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHPM) dibagi mejadi 2, yaitu : Sanksi pidana pokok
dan Sanksi pidana tambahan (pasal 6 KUHPM).
a.
Sanksi pidana pokok terdiri dari :
1. Pelaksanaan
pidana mati
2. Pelaksanaan
pidana penjara
3. Pelaksanaan
pidana kurungan
4. Pelaksanaan
pidana tutupan (UU No 20 tahun 1946)
b.
Sanksi pidana tambahan :
1. Pemecata
dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan
Bersenjata
2. Penurunan
pangkat
3. Pencabutan
hak yang disebut dalam pasal 35 ayat 1 pada no 1,2, dan 3 KUHP
Sanksi pidana yang diatur
dalam KUHPM dan KUHP memiliki persamaan dan perbedaan, perbedaanya dapt dilihat
dengan membandingkan pasal 6 KUHPM dengan pasl 10 KUHP. Di dalam KUHP tidak
terdapat pelaksanaan pidana tutupan namun dalam KUHPM diatur, sebaliknya dalam
KUHP terdapat pidana denda dan dalam KUHPM tidak ada.
Selain itu, dalam pelaksanaan
pidana tambahan KUHPM memiliki sanksi-saknsi khusus yang tidak diatur dalam
KUHP, hal ini dikarenakan subjek dari KUHPM hanyalah anggota militer berbeda
dengan KUHP yang subjekya umum (warga sipil dan militer).
B.
Saran
Untuk
melakukan penegakan hukum di lingkup militer, perlu adanya ke konsistenan dari
para pemimpin terutama dari panglima militer itu sendiri. Di karenakan sistem militer yang
mengedepankan prinsip komando, maka disini atasan harus lebih tegas dalam
penerapan hukuman kepada bawahannya.
Ancaman
hukuman yang tinggi tidak akan berlaku efektif tanpa adanya probabilitas yang
baik. Probabilitas yang baik itu didapatkan
dengan cara adanya penegakan hukum yang konsisten. Dalam hal ini para
pemimpin militer perlu melakukan suatu penindakan yang konsisten terhadap anak
buahnya yang melakukan tindak pidana atau
pelanggaran terhadap hukum disiplin militer.
Sekecil
apapun pelanggaran itu perlu adanya tindakan dari para komandannya terhadap
bawahannya guna menciptkan probabilitas yang baik dalam penegakan hukum pidana
militer.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Salam Faisal,2006, Hukum Pidana Militer Di Indonesia,
Mandari maju, Bandung
·
Nating, Irman, 2003, Sejarah peradilan militer di indonesia ,Solusi
Hukum.com
·
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
·
Kitab Undang Undang Hukum Pidana Mliter
1 komentar
izin copas untuk referensi perkuliahan, terima kasih, sukses selalu.
BalasHapus