ASAS ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

ASAS ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN

Dianjukan untuk Memenuhi Tugas, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum,
Semester Ganjil, Tahun Akademik 2009/ 2010
Dosen Pembimbing : Prof. Elli Rusliana, S.H.,M.Hum.Oleh: Rudi Pradisetia Sudirdja
NPM : 091000299
Kelas : E




FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN
JALAN LENGKONG BESAR NO 68 BANDUNG
Telp. (022) 4205945, 4262226

2009 / 1430


Asas-Asas Pembentuk Peraturan perundang-undangan

Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto, memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
a.Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
b.Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
c.Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
d.Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);
e.Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
f.Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Hampir sama dengan pendapat ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas, sebagai berikut:
a.Asas tingkatan hirarkhi;
b.Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
c.Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyam-pingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
d.Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
e.UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori derogat lex periori).
Pendapat yang lebih terperinci di kemukakan oleh I.C van der Vliesdi mana asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas formal dan asas materil.
Asas formal mencakup:
a.Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling);
b.Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c.Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d.Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
e.Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut:
a.Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek),
b.Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c.Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
d.Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e.Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling).
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi.
Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :
a.Asas–asas formal:
1.Asas tujuan yang jelas.
2.Asas perlunya pengaturan.
3.Asas organ / lembaga yang tepat.
4.Asas materi muatan yang tepat.
5.Asas dapat dilaksanakan.
6.Asas dapat dikenali.
b.Asas–asas materiil:
1.Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.
2.Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3.Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.
4.Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dalam Islam, prinsip-prinsip perumusan peraturan perundang-undangan (qanun) juga telah lama diperkenalkan oleh ahli Islam seperti Al Ghazali, Ibnu al Qayyim al Jauziyah, dan tokoh-tokoh kontemporer lainnya. Beberapa prinsip itu antara lain:
a.Pluralisme (al ta’addudiyyah); suatu prinsip keanekaragaman, di mana setiap peraturan perundang-undangan yang disusun harus menghargai, mengakomodasi keberagaman di suatu komunitas.
b.Nasionalitas (muwathanah); spirit nasionalisme yang melandasi bangunan bangsa Indonesia harus menjadi batu pijak dan poros dalam perumusan kebijakan (meskipun ia berbasis pada syariat Islam).
c.Penegakan hak asasi manusia (iqamat al huquq al Insaniyah); menurut Imam Ghazali adalah bahwa perumusan kebijakan dioreintasikan pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan. hak asasi manusia juga diacu sebagai landasan perumusan materi kebijakan.
Terdapat enam hak yang dikenal dalam disiplin Syariat Islam:
a.Hak untuk hidup (hifdz al nafs aw al hayat)
b.Hak kebebasan beragama (hifdz a din)
c.Hak kebebasan berfikir (hifdz al aqli)
d.Hak properti (hifdz al maal)
e.Hak untuk mempertahankan nama baik (hifdz al irdh)
f.Hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz al nasl)
d.Demokratis: secara prinsipil nilai-nilai Islam berkesesuaian (compatibel) dengan nilai-nilai demokrasi. Beberapa di antaranya:
a.Egalitarianisme (al musawah)
b.Kemerdekaan (al hurriyyah)
c.Persaudaraan (al ukhuwwah)
d.Keadilan (al adalah)
e.Musyawarah (al syuro)
f.Kemaslahatan (al mashlahah)
Ibnu al Qayyim al Jauziyah menyebutkan bahwa syariat Islam itu dibangun untk mewujudkan nilai-nilai universal seperti: al mashlahah (kemaslahatan), al adalah (keadilan), al rahmat (kasih sayang), al hikmah (kebijaksanaan).
e.Kesetaraan dan keadilan gender: setiap kebijakan disusun tidak boleh membedakan setiap jenis kelamin. Ia harus mengakomodasi dan mensetarakan gender.
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ pembentuk, dan lain-lain. Untuk memudahkan pemahaman, di bawah ini akan diuraikan penjelasan asas-asas itu yang dikelompokkan ke dalam 3 bagian asas yang harus dipenuhi. Uraian berikut ini sebagian besar mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari uraian para ahli.
Asas-asas Hukum Umum
a.Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif); peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat. Sebagai contoh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang digunakan untuk mengadili peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Timur yang terjadi pada 1999.
b.Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior); peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi norma dan peraturan perundang-undangan.
c.Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis); sebagai contoh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah lex specialis yang banyak mengesampingkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
d.Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.
Asas Material/ Prinsip-prinsip Substantif
Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah (1) nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah tercantum di dalam konstitusi; jaminan integritas hukum nasional; dan (3) peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi.
Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
a.Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
b.Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat.
c.Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik.
d.Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
e.Keadilan; memuat misi keadilan.
f.Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
g.Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui jaminan hukum.
h.Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara.
i.Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan.
j.Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, dan identitas sosial lainnya.
k.Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai, akurasi pemecahan masalah.
l.Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
m.Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang.
n.Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
o.Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya guna dan hasil guna.
p.Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah dimengerti dan tidak multitafsir.
q.Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara holistik dan tidak parsial.
r.Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik), tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu.
s.Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan hukum yang fair.
t.Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan.
Asas formal/ Prinsip-prinsip Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.Aksessibilitas dan keterbukaan;proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi perencanaan, persiapan, pembentukan, dan pembahasan harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang.
b.Akuntabilitas; proses peraturan perundang-undangan harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka yang meliputi: akurasi perencanaan kerja, kinerja lembaga legislatif dan eksekutif, serta pembiayaan.
c.Partisipasi publik; proses pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan kemampuan menangkap aspirasi dan kekhawatiran publik; kecermatan memahami masalah secara akurat; serta kapasitasnya menemukan titik-titik konsensus antara berbagai pengemban kepentingan tentang suatu isu atau permasalahan, termasuk penyediaan mekanisme partisipasi dan pengelolaan aspirasi.
d.Ketersediaan kajian akademik;proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus didahului dengan kajian mendalam atas masalah yang dihadapi atau hal-hal yang hendak diatur, yang biasanya dituangkan dalam bentuk draft akademik.
e.Kekeluargaan; proses pengambilan kesepakatan diupayakan dengan jalan musyawarah.

You Might Also Like

0 komentar